Ancam Demokrasi, Masyarakat Perlu Mewaspadai Politik Uang Jelang Pemilu 2024
Ancam Demokrasi, Masyarakat Perlu Mewaspadai Politik Uang Jelang Pemilu 2024
Oleh : Devi Putri Anjani
Segenap elemen masyarakat harus mampu dan terus meningkatkan kewaspadaan diri mereka masing-masing untuk bisa menangkal adanya praktik politik uang, utamanya pada saat menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) pada tahun 2024 mendatang karena dampak buruknya akan banyak sekali dirasakan nantinya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meluncurkan sebuah kampanye bertajuk ‘Hajar Serangan Fajar’ pada pelaksanaan pesta demokrasi dan kontestasi politik, Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang. Kampanye tersebut terus digencarkan, utamanya ketika menjelang Pemilu.
Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat (Dikmas) KPK, Wawan Wardiana menjelaskan bahwa dari kajian yang telah dilakukan oleh KPK sejak tahun 2018 silam atau pada saat pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak, ternyata ditemukan bahwa sebanyak 95% (persen) masyarakat menilai calon yang akan mereka pilih harus memiliki banyak uang.
Jelas sekali tentu hal yang terjadi dan juga kenyataan serta fakta di lapangan yang melekat pada masyarakat itu merupakan sesuatu yang sangat tidak sehat, utamanya dalam upaya untuk bisa terus menekan angka korupsi di Tanah Air.
Bahkan, penilitian dari KPK itu juga seakan memiliki korelasi kuat dengan bagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) yang juga mengungkapkan bahwa adanya serangan fajar pada saat pelaksanaan Pemilihan Umum telah diistilahkan sebagai ‘sudah menjadi budaya’.
Ada juga Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang mengeluarkan hasil kajian mereka pada tahun 2019 lalu, yakni sebanyak 47,4% (persen) masyarakat ternyata masih saja membenarkan kalau praktik politik uang pada Pemilu 2019 masih ada dan dijumpai dengan mudah. Kemudian, sebanyak 46,7% (persen) diantara masyarakat juga menganggap kalau politik uang adalah yang hal wajar saja untuk dilakukan.
Wawan menegaskan bahwa sejatinya praktik politik uang tentu akan membuat politik menjadi berbiaya sangat tinggi. Bukan hanya sekedar mengeluarkan uang saja, namun biaya politik juga pasti ada. Jika melihat dari bagaimana kajian KPK serta penelitian dari UGM itu, justru mirisnya adalah biaya politik malah digunakan untuk hal lain, yakni ‘membeli’ suara dan juga menarik simpatisan agar mau memilih calon yang dimaksud.
Berbicara lebih jauh mengenai kiranya kelompok dari masyarakat yang mana saja yang mampu dan sangat mungkin untuk menjadi sasaran empuk pada pelaksanaan praktik politik uang atau juga biasa dikenal dengan serangan fajar saat Pemilu, ternyata hasil kajian dari KPK bersama dengan pihak Deep Indonesia, dari sejumlah pemilih pada tahun 2019 yang dijadikan sebagai responden, sebanyak 72% (persen) mereka telah menerima politik uang.
Ketika dibedah lagi, dari sebanyak 72% (persen) tersebut, ternyata sebanyak 82% (persen) diantaranya adalah perempuan dengan usia 35 tahun ke atas, atau juga biasa dikenal dengan ibu-ibu atau emak-emak. Tentunya terdapat beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa kaum emak-emak ini mendapatkan angka tertinggi sebagai penerima praktik politik uang, sembako atau dalam bentuk lainnya.
Beberapa diantara faktor tersebut jelas terletak kepada kebutuhan ekonomi, kemudian adanya tekanan dari pihak lain, seperti misalnya ketika pihak yang memberikan serangan fajar seperti pembagian uang atau sembako itu adalah merupakan sosok orang yang dihormati di lingkungan masyarakat seperti Ketua RT, hal tersebut jelas menimbulkan rasa tidak enak sendiri atau dalam konsep Bahasa Jawa dikenal dengan rasa ‘ewuh pakewuh’ atau sungkan untuk tidak menerimanya.
Harapan sangat besar tentunya pada pelaksanaan Pemilu tahun 2024 mendatang agar masyarakat yang masih saja menganggap kalau praktik politik uang merupakan hal wajar bisa merubah pandangan itu. Maka dari itu, penting pula adanya berbagai macam pemberian edukasi atau sosialisasi dan kampanye anti politik uang, yang mana penggencaran kampanye tersebut tidak mungkin bisa dilakukan hanya melalui satu lembaga saja, melainkan perlu bantuan dari seluruh elemen masyarakat.
Pada kesempatan lain, Badan Pengawas Pemilu Provinsi Sulawesi Tenggara (Bawaslu Sultra) terus bergerak pula untuk meningkatkan kewaspadaan akan maraknya politik uang menjelang pelaksanaan Pemilu 2024. Menurut Ketua Bawaslu Sultra, Iwan Rompo bahwa para pemilih yang paling dikhawatirkan menjadi sasaran praktik politik uang merupakan para pemilih pemula.
Pasalnya mereka merupakan kelompok yang dianggap sangat rentan terhasut akan godaan dan iming-iming sejumlah uang sebagai mahar untuk bisa memilih calon tertentu. Maka dari itu adanya sosialisasi serta edukasi mengenai bagaimana dampak buruk apabila praktik tersebut terus dilakukan harus bisa diajarkan sejak dini.
Menjelang pelaksanaan Pemilu pada tahun 2024 mendatang, tentunya membuat para kontestasi akan pertarungan politik itu menggunakan banyak cara dan strategi agar mereka bisa mendapatkan banyak suara dari masyarakat. Bahkan, sering strategi yang digunakan merupakan cara yang kotor seperti praktik politik uang. Sehingga, kewaspadaan diri dari semua elemen masyarakat juga merupakan hal yang sangat penting untuk bisa menangkal adanya praktik demikian.
)* Penulis adalah Kontributor Duta Media
Post Comment