Antisipasi Isu SARA Demi Mewujudkan Pesta Demokrasi yang Beradab

Antisipasi Isu SARA Demi Mewujudkan Pesta Demokrasi yang Beradab

Oleh: Chaerul Umam

Isu agama dan etnik masih menjadi persoalan serius setiap kali negeri ini menggelar pesta demokrasi. Pada Pemilu 2024, isu itu masih saja dijadikan senjata oleh para petualang politik untuk menjatuhkan lawan demi memiliki kekuasaan.

Pengalaman buruk pada pemilu sebelumnya seolah masih menghantui penyelenggaraan kontestasi demokrasi 2024. Satu di antara pengalaman buruk itu yakni menguatnya politisasi SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).

Penggunaan isu SARA dalam politik ini memang menjadi sebuah kekhawatiran para elit politik dan masyarakat luas. Pasalnya, isu SARA ini bisa dijadikan senjata oleh para petualang politik untuk menyerang bahkan menjatuhkan lawan demi meraih kekuasaan. Sehingga, isu SARA menjadi bom waktu yang bisa menghancurkan jalinan persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa.

Hanya dengan kesadaran dan komitmen di bawah payung Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, mampu memadamkan sumbu bom itu agar tak benar-benar meledak, atau paling tidak meminimalisir dampaknya. Menurut Direktur lembaga survei Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti isu SARA akan lebih banyak digunakan dalam pemilihan-pemilihan mendatang dibanding masa sebelumnya.
Menurut Ray, memang ada keyakinan bahwa isu SARA memiliki efek yang memadai untuk elektabilitas seseorang atau untuk menahan elektabilitas seseorang. Isu SARA bersifat lebih menyerang pada orang, bahwa dia kelompok anu dan bukan dalam kerangka menegakkan identitas kelompok tertentu. Lebih banyak ke luar, menyerang, bersifat menekan atau menurunkan elektabilitas seseorang daripada menaikkan elektabilitas.
Media sosial atau medsos memiliki peran yang sangat kuat dalam menyebarluaskan informasi kepada publik, termasuk penyampaian isu-isu SARA. Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia mencapai 215,63 juta orang pada periode 2022-2023. Jumlah tersebut meningkat 2,67 persen dibandingkan pada periode sebelumnya yang sebanyak 210,03 juta pengguna.
Itu artinya penggunaan internet digunakan untuk media sosial sebagai konten yang paling sering diakses untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat. Seiring itu pula ujaran kebencian melalui wacana politisasi isu SARA berpotensi meningkat pada pemilu 2024. Menyikapi hal ini, diperlukan sikap bijak menggunakan media sosial. Pasalnya dampak negatif dari media sosial ini bisa merusak persatuan bangsa.

Satu di antara contohnya menjelang pemilu 2024 ini, para buzzer politik diharapkan tidak memberi narasi yang memecah belah. Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Muzani mengatakan para buzzer boleh agungkan calon presidennya, boleh unggulkan program capresnya. Tapi jangan menjelek-jelekan orang lain, jangan mengorbankan persatuan kesatuan dan kerukunan masyarakat kita. Gunakanlah handphone untuk mendukung produktivitas. Jangan gunakan handphone untuk mengadu domba, memfitnah karena itu bisa memecah belah bangsa dan persaudaraan antar umat.
Bagaimanapun bentuknya, politisasi SARA bisa mengancam kehidupan dan bernegara bangsa Indonesia. Dalam kondisi itu, persatuan dan kesatuan bangsa sedang berada dalam ancaman, sebab ujaran kebencian akan sangat marak selama proses kampanye berlangsung. Bahkan, menurut Wakil Ketua MPR, Ahmad Basarah, sangat mungkin di tengah politisasi SARA itu, secara diam-diam atau terbuka akan masuk propaganda ideologi lain yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Sementara itu pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komaruddin berpendapat setidaknya ada dua cara meminimalisasi penggunaan politisasi SARA dalam pemilu. Pertama, Ujang menekankan soal pentingnya ajaran agama diimplementasikan dengan baik.
Menurutnya, membangun kesadaran keadaban beragama itu penting, agama itu tidak hanya tekstual tapi harus betul-betul implementatif. Agama itu bukan hanya ritual tapi juga bagaimana berinteraksi berhubungan dengan baik dengan sesama manusia sesama rakyat Indonesia, sehingga agama itu betul-betul menjadi rahmat dalam semua konteks termasuk dalam konteks Pancasila.
Kedua, menekankan pengamalan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar dan falsafah yang bersumber dari kehidupan masyarakat Indonesia. Bangsa ini konstruksinya adalah masyarakat yang heterogen, majemuk maka suka tidak suka kita harus menghormati itu sebagai sebuah anugerah dari Tuhan bagi bangsa Indonesia ini. Justru kita harus bersyukur memiliki Pancasila yang bisa mempersatukan bangsa ini. Jangan sampai Pancasila yang luhur itu yang mulia itu diporakporandakan dengan isu SARA dalam pemilu..
Mengutip pidato Presiden Sukarno pada pemilu pertama 1955 yang menyebut bahwa Negara Indonesia bukanlah milik satu golongan, suku dan adat tertentu. Sebagai sarana sirkulasi kepemimpinan lima tahunan, pemilu acapkali dianggap sebagai medan tempur untuk meraih kekuasaan. Namun banyak terlupakan bahwasanya satu dari esensi pemilu itu sebuah instrumen demokrasi, sebuah pesta demokrasi yang harus dibawa dengan perasaan senang gembira.
Dalam konteks inilah, pemilu seharusnya bisa merekatkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Terlepas dari perbedaan pandangan politik, kepentingan dan lainnya, dengan pemilu, perbedaan pandangan politik bisa menyatu dalam bingkai Negara Republik Indonesia.
Saat perhelatan pemilu 1955, Bung Karno menekankan pentingnya persatuan dan kesatuan dalam menghadapi pemilu, serta pentingnya memilih pemimpin yang dapat memajukan Indonesia dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Selain itu, momen 14 Februari 2024, jangan hanya dimaknai sebagai hari pencoblosan tetapi juga mestinya dapat menambah spirit bahwa pemilu nanti harus dapat menyatukan masyarakat, menghargai dan menghormati pilihan politik yang berbeda.
Meski tampaknya sulit untuk mewujudkan hal itu, namun upaya untuk menimbulkan kesadaran akan pentingnya persatuan dan kesatuan mesti digaungkan oleh para elite politik. Pasalnya para elite politik ini menjadi contoh bagaimana para pendukung dan masyarakat menyikapi perbedaan dinamika politik.
Seluruh elemen bangsa, pemerintah dan masyarakat memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan pemilu yang beradab. Pemilu yang beradab artinya mengedepankan nilai-nilai kebangsaan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam segala tindak perilaku.
MPR RI sebagai lembaga yang menjadi pengatur cuaca dan iklim agar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam menghadapi banyak tantangan turut berperan penting agar jalannya pemilu tetap di jalan yang benar. MPR akan selalu mengingatkan kepada seluruh komponen bangsa bahwa dalam menegakkan kedaulatan rakyat dan kehidupan berdemokrasi memerlukan sikap dan tindakan saling menghormati.
Pemilu sebagai pesta demokrasi rakyat harus dijalankan dengan sukacita, bukan justru berimbas kepada perpecahan bangsa. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan, namun jangan sampai perbedaan itu menimbulkan perpecahan.

)* Penulis adalah tim redaksi Tribunne

Post Comment