Aparat Keamanan Cegah Masyarakat Jadi Korban dari KST Papua
Aparat Keamanan Cegah Masyarakat Jadi Korban dari KST Papua
Oleh : Alfred Jigibalom
Aparat keamanan RI berusaha untuk mencegah supaya masyarakat tidak menjadi korban dalam upaya pengamanan dan penyelamatan Pilot Susi Air dari penyanderaan Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua. Maka dari itu, mereka melakukan upaya dengan pendekatan yang persuasif agar situasi bisa aman, terkendali dan tetap kondusif.
Apresiasi tinggi patut diberikan kepada Aparat Keamanan yang telah berhasil menangkap anggota Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua Yomce Lokbere pada Rabu (5/4).
Dia merupakan salah satu pelaku pembakaran pesawat Susi Air di Paro, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan beberapa waktu lalu. Bukan hanya itu, bukan hanya membakar pesawat, Yomce dan gerombolan terorisnya bahkan juga melakukan penyanderaan kepada Pilot Susi Air.
Mengenai penyanderaan tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD mengakui bahwa memang pilot dari Susi Air PK-BVY, yakni Kapten Philips Max Mehrtens telah disandera oleh KST Papua.
bahkan, dirinya juga menyatakan bahwa sampai saat ini memang pilot berkewarganegaraan Selandia Baru tersebut masih belum dilepaskan.
Lebih lanjut, Menko Mahfud mengaku bahwa sampai saat ini, Pemerintah Republik Indonesia (RI) juga terus berusaha dengan semaksimal mungkin untuk bisa melakukan penyelamatan terhadap sang pilot. Kemudian, pola pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya penyelamatan tersebut adalah secara persuasif.
Pemerintah RI juga terus menjalin komunikasi dengan pemerintah Selandia Baru. Mahfud MD kemudian menegaskan bahwa memang penyanderaan warga sipil sama sekali tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Meski menggunakan upaya pendekatan yang persuasif, namun Pemerintah RI juga tidak menutup kemungkinan untuk upaya lainnya.
Selain itu, Menko Polhukam tersebut juga mengungkapkan bahwa Papua sendiri masih merupakan bagian sah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), baik secara konstitusi maupun secara hukum internasional.
Sementara itu, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), Laksamana Yudo Margono menegaskan bahwa sama sekali tidak ada tenggat waktu untuk menyelamatkan Pilot Susi Air tersebut. Diketahui bahwa sudah 2 (dua) bulan pilot tersebut masih disandera oleh Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua.
Selanjutnya, Laksamana Yudo Margono menjelaskan alasan di balik mengapa operasi pembebasan atas pilot Susi Air itu sama sekali tidak memiliki tenggat waktu. Menurutnya, penyanderaan itu sama sekali berbeda dengan penyanderaan lainnya, karena salah satu faktornya adalah lokasi.
Dirinya menegaskan bahwa tim gabungan sampai saat ini juga tetap melakukan berbagai macam cara, termasuk pendekatan yang persuasif untuk bisa menyelamatkan Pilot Susi Air, Kapten Phillips Max Mehrtens yang telah disandera oleh KST Papua sejak bulan Februari 2023 lalu.
Panglima TNI itu menegaskan bahwa pihaknya tetap melaksanakan tugas untuk bisa melakukan pembebasan dan menggunakan pendekatan yang persuasif. Pendakatan tersebut juga dibantu dengan menggandeng beberapa pihak lain seperti tokoh agama, tokoh masyarakat hingga Bupati Nduga untuk bisa melakukannya secara persuasif.
Meski, lanjut dia, TNI bisa saja melakukan penyelamatan dengan cara militer, mengingat banyaknya prajurit TNI yang dimiliki NKRI dan alat perang yang lengkap. Namun, cara militer ini memiliki risiko yang sangat besar.
Bagaimana tidak, pasalnya apabila pihak TNI melakukan penyelamatan menggunakan operasi militer dan tidak menggunakan pendekatan yang persuasif, maka justru akan berpotensi untuk menimbulkan korban, yakni masyarakat sipil yang sama sekali tidak bersalah. Padahal sebenarnya, di sisi lain, kekuatan militer yang dimiliki oleh NKRI memiliki peralatan yang lengkap dan juga mempunyai banyak prajurit yang profesional.
Terlebih, dari operasi intelijen yang telah dilakukan, ternyata Laksamana Yudo Margono menemukan adanya sebuah wacana bahwa apabila pihaknya menggunakan operasi militer, maka terdapat pembicaraan yang mengungkapkan kalau pihak KST Papua sama sekali tidak ragu untuk menembak dan membunuh prajurit TNI. Selain itu, dirinya juga meminimalisasi adanya tuduhan nanti apabila ternyata kemudian terdapat tudingan justru pihak TNI yang membunuh sang pilot.
Sehingga jelas sekali, pihak KST Papua menjadikan sandera sebagai alat untuk mengancam aparat keamanan Indonesia sehingga jika menggunakan operasi militer, mereka sama sekali tidak akan segan untuk langsung membunuh Pilot Susi Air tersebut. Sedangkan, Panglima TNI sama sekali tidak menginginkan hal tersebut terjadi.
Meskipun tidak menggunakan operasi militer dan terus menggunakan pendekatan yang persuasif, namun dirinya menegaskan dan memastikan bahwa pihak TNI akan terus melakukan upaya pembebasan dengan aman, kondusif sehingga sama sekali tidak ada masyarakat sipil yang ikut terdampak. Selanjutnya, Panglima TNI juga menegaskan bahwa pihaknya sudah mengetahui posisi di mana sang Pilot Susi Air disandera oleh KST Papua.
Maka, seluruh proses pengamanan dan penyelamatan Pilot Susi Air yang disandera oleh KST Papua terus dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang persuasif oleh aparat keamanan di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan aparat keamanan sama sekali ingin mencegah agar masyarakat sipil yang tidak berdosa sama sekali tidak terdampak dan menjadi korban.
)* Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Bali
Post Comment