Bersama Waspadai Radikalisme dalam Pemilu, Hindari Fanatisme Berlebihan
Bersama Waspadai Radikalisme dalam Pemilu, Hindari Fanatisme Berlebihan
Oleh : Haikal Fathan Akbar
Menjelang Pemilu, radikalisme harus diwaspadai karena berpotensi meningkat dan bisa menggagalkan program ini. Masyarakat wajib menghindari fanatisme berlebihan terhadap salah satu capres yang diidolakan. Khawatirnya fanatisme akan menjurus ke politik identitas, dan bisa mengakibatkan gesekan, dan merusak perdamaian Pemilu 2024.
Beberapa bulan lagi Pemilu 2024 diselenggarakan. Masyarakat menunggu dengan antusias karena mereka akan memiliki presiden yang baru, dan memang masa jabatan Presiden Jokowi akan berakhir. Dalam Pemilu 2024 ada 3 calon presiden (Capres) dan mereka memiliki pendukung masing-masing.
Walau memiliki capres idola, masyarakat dihimbau untuk tidak melakukan fanatisme yang berlebihan. Analis politik Selamat Ginting mengungkapkan, fanatisme berlebihan dalam mendukung partai politik (parpol) maupun calon pemimpin nasional dan pemimpin daerah dalam pemilihan umum 2024, berpotensi menimbulkan radikalisme yang membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Jangan sampai ada sebutan buruk (untuk pendukung capres tertentu) yang merendahkan derajat manusia.
Selamat Ginting melanjutkan, jangan sampai masyarakat melakukan kekerasan kepada orang atau kelompok yang berbeda. Termasuk kekerasan melalui bullying (tindakan agresif yang dilakukan berulang) di media sosial dengan kalimat yang tidak etis.
Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan kepada kelompok yang berbeda pandangan. Termasuk pandangan atau pilihan politik.
Jika ada kelompok yang memaksakan kehendak perubahan sosial politik secara drastis, karena merasa partai politik pilihannya maupun calon pemimpin nasional atau daerah yang diusungnya harus menang dengan cara kekerasan dalam pemilu, artinya kelompok itu melakukan radikalisme.
Fanatisme berlebihan terhadap seorang capres berbahaya karena pendukungnya jadi cinta buta. Saking cintanya, mereka mengejek pendukung lain dengan sebutan yang buruk. Akibatnya mereka bisa kena UU ITE dan dipidana karena melakukan cyber bullying di media sosial.
Kemudian, fanatisme berlebihan juga berbahaya karena karena bisa menyebabkan politik identitas dan radikalisme. Politik identitas adalah aksi politik yang menonjolkan latar belakang, suku, dan budaya tertentu. Isu politik identitas dikhawatirkan semakin meningkat di kalangan masyarakat.
Ketika masyarakat teracuni oleh politik identitas maka ia menganggap pendukung capres lain tidak setara dan akhirnya melakukan penghinaan, baik di kehidupan nyata maupun dunia maya. Politik identitas berbahaya karena bisa menyebabkan perpecahan di masyarakat.
Fanatisme dan perpecahan di masyarakat dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok teroris dan radikal. Mereka mendekati pendukung capres dan memprovokasi agar saling bermusuhan dengan pendukung capres lain. Akibatnya masa kampanye Pemilu 2024 jadi panas karena ada peperangan, terutama di dunia maya.
Perpecahan di masyarakat memang diharapkan oleh kelompok radikal karena mereka bisa membuat kekacauan tanpa harus melakukan aksi penyerangan dan pengeboman (yang membutuhkan biaya besar). Provokasi yang dibuat dengan menyebarkan hoaks, dibuat dengan cara mendesain konten lalu disebarkan di media sosial. Propaganda juga disebar, terutama di grup-grup WA.
Oleh karena itu masyarakat dihimbau untuk tidak fanatik saat mendukung suatu capres karena berbahaya dan menyebabkan kekacauan sosial. Saat ada peperangan antar pendukung maka berpotensi membuat kerusuhan besar dan bisa membatalkan Pemilu damai. Jangan mau diracuni oleh hoaks dan propaganda yang disebar oleh kelompok radikal dan teroris.
Sementara itu, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mendeteksi ada penyebaran 320 berita bohong atau hoaks yang sebagian besar di antaranya (65 persen) bertopik politik tahun 2024. Penyebaran hoaks ini menyasar tiga hal, yaitu pemerintah/lembaga (23 persen), kubu capres 01 sekitar (50 persen), dan kubu capres 02 (27 persen).
Pengamat politik Septiaji Eko Nugroho menyatakan bahwa, satu hal yang perlu digarisbawahi dari penyelenggaraan Pemilu adalah peredaran hoaks yang masif, membuktikan masyarakat sedang mengalami ketidakpercayaan serius satu sama lain. Banyaknya hoaks dipicu tidak hanya karena masalah literasi digital (semata), tetapi juga karena munculnya fanatisme politik yang berlebihan.
Fanatisme politik yang berlebihan tersebut mengakibatkan polarisasi masyarakat, kerukunan memudar, menguatnya kebencian antarkelompok, serta penurunan rasa kemanusiaan. Situasi diperparah dengan infrastruktur penyebaran hoaks yang melimpah sehingga menambah luas penyebarannya.
Sikap mendukung yang membabi-buta kepada tokoh atau kubu politik tertentu mengakibatkan sebagian masyarakat mengabaikan pentingnya data dan fakta. Dengan sikap tersebut, penerimaan terhadap informasi tertentu lebih karena mendukung atau menguntungkan sikap kelompoknya, bukan karena kesesuaian fakta atau logika. Pada momen tertentu, fakta hanya dipakai sejauh menyesuaikan keinginan.
Oleh karena itu masyarakat diminta untuk tenang dan tidak terprovokasi oleh hoaks dan propaganda, karena berita bohong tersebut memang sengaja dibuat oleh kelompok radikal dan teroris. Mereka ingin mengacaukan dan membatalkan Pemilu 2024 dengan cara membuat kekacauan sosial. Jangan sampai kecintaan yang berlebihan mengakibatkan masyarakat mudah emosi dan menyerang pendukung capres lain, dan akhirnya tersangkut UU ITE.
)* Penulis adalah kontributor Vimedia Pratama Institute
Post Comment