Ikut Tentukan Arah Bangsa, Generasi Muda Wajib Gunakan Hak Pilihnya di Pemilu 2024

Ikut Tentukan Arah Bangsa, Generasi Muda Wajib Gunakan Hak Pilihnya di Pemilu 2024

Oleh : Naufal Putra Bratajaya

Pemilu 2024 menjadi sorotan tajam dalam dinamika politik Indonesia. Dengan jumlah pemilih muda yang mencapai 106 juta orang, usia 17-39 tahun memiliki potensi besar untuk menjadi pemegang kunci dalam menentukan arah perjalanan politik tanah air.

Namun, besarnya jumlah pemilih muda ini belum diimbangi dengan pemahaman mendalam akan kebutuhan serta aspirasi generasi ini dalam wacana politik. Terlalu sering, generasi muda dianggap sebagai sasaran empuk bagi para politisi yang hanya melihat mereka sebagai alat untuk mengumpulkan suara, bukan sebagai agen perubahan dan pembangunan sosial.

Dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional Pemilu 2024, tercatat sebanyak 52 persen dari 204.807.222 pemilih merupakan pemilih muda, atau sekitar 106.358.447 orang. Angka ini menggambarkan sebaran usia pemilih muda, dengan 0,003 persen atau sekitar 6.000 jiwa berusia 17 tahun, 31,23 persen atau 63,9 juta orang berusia 17-30 tahun, dan 20,70 persen atau sekitar 42,395 juta jiwa berusia 31-40 tahun.

Namun, karakteristik generasi muda ini jauh lebih kompleks daripada sekadar faktor usia. Fuadil ‘Ulum, seorang peneliti dari Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa generasi muda adalah kelompok yang beragam, mencakup mereka yang mahir dalam teknologi, tinggal di perkotaan, terpelajar, dan berasal dari keluarga kelas menengah.
Namun, gambaran ini hanyalah sebagian kecil dari masyarakat Indonesia. Masih banyak generasi muda yang harus berjuang untuk mengakses pendidikan tinggi, dan kebutuhan mereka seringkali terabaikan.
Setiap segmen generasi muda memiliki masalah dan kepedulian yang berbeda. Generasi muda di perkotaan lebih memperhatikan masalah polusi udara, kemacetan, dan keterbatasan ruang publik. Di sisi lain, mereka yang hidup di pedesaan lebih peduli pada masalah pangan dan lapangan kerja.
Dengan berbagai karakteristik yang beragam ini, Fuadil menekankan bahwa ada banyak kebutuhan generasi muda yang belum terwakili dalam dunia politik. Salah satunya adalah masalah lapangan pekerjaan yang semakin terbatas, yang membuat mereka harus menanggung beban ekonomi generasi di atas dan di bawah mereka secara bersamaan.
Hingga saat ini, elite politik nampaknya belum berhasil memberikan jawaban konkret terhadap berbagai kebutuhan generasi muda. Sebaliknya, para tokoh politik terkadang lebih fokus pada tampilan fisik yang bisa menarik perhatian generasi muda, seperti mengenakan jaket bomber, mengendarai motor gede, atau membuat video TikTok.
Sayangnya, hal-hal tersebut masih terlalu pragmatis dan belum mencerminkan esensi perubahan yang sebenarnya. Menurut Fuad, pemilu seharusnya dilihat sebagai kesempatan untuk mendengar dan memahami aspirasi generasi muda, bukan hanya sebagai ajakan untuk menggunakan hak pilih mereka.
Arya Fernandes, Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial di Centre for Strategic and International Studies, menyoroti bahwa generasi muda di bawah usia 40 tahun memiliki kecenderungan lebih besar untuk mengubah pilihannya.
Ini mungkin disebabkan oleh mereka yang masih menunggu putaran kampanye dan debat calon presiden serta wakil presiden. Namun, ia juga mencatat bahwa ada perbedaan dalam akses informasi, terutama antara generasi muda yang tinggal di pedesaan dan perkotaan.
Mereka yang tinggal di desa mungkin lebih fleksibel dalam merespons perubahan karena mereka tidak terpapar begitu banyak informasi seperti yang diterima oleh generasi muda perkotaan.
Meskipun generasi muda akan mendominasi dalam Pemilu 2024, Arya memprediksi bahwa preferensi politik generasi usia 17-39 tahun akan tersebar di berbagai partai dan elite politik.
Hal ini disebabkan oleh partai politik yang telah lama menjalankan organisasi-organisasi yang mengincar generasi muda, serta karakteristik dan kebutuhan mereka yang berbeda-beda. Seiring dengan itu, kebijaksanaan para pemilih muda juga semakin matang.
Penting untuk diingat bahwa pemilihan tidak hanya merupakan tugas memasukkan surat suara ke dalam kotak. Generasi muda juga harus aktif dalam mengorganisir diri mereka sendiri, berkomunikasi dengan calon legislatif di tingkat lokal dan nasional, dan mengawasi jalannya pemilu serta pemerintahan setelahnya.
Kesadaran pemerintah untuk dapat mengakomodasi kebutuhan generasi muda dan menerima kritik sebagai bagian dari perbaikan adalah kunci dalam membangun masa depan politik yang lebih baik.
Kezia Permata, seorang karyawan swasta di Yogyakarta, menunjukkan antusiasmenya terhadap Pemilu 2024. Bagi Kezia, pemilu adalah proses penting dalam pergantian pemimpin Indonesia, dan ia ingin tahu bagaimana masa depan akan dibentuk oleh pemimpin terpilih.
Meskipun pengaruh politiknya sebelumnya dipengaruhi oleh teman-teman dan keluarga, Kezia kini aktif mencari informasi tentang para elite politik dan memahami sejarah mereka. Menurutnya, pengalaman masa lalu tokoh politik memiliki dampak signifikan terhadap kepemimpinan mereka di masa depan.
Namun, tidak semua generasi muda memiliki pandangan yang sama. Adit Sinaga, seorang karyawan swasta di Jakarta, mengakui bahwa ia tidak terlalu peduli tentang politik dan Pemilu 2024. Kebusyukan kerja menjadi alasan utama. Meski begitu, ia menyadari bahwa banyak teman-temannya aktif membicarakan politik, dan ia masih memiliki waktu untuk mempertimbangkan pilihannya dengan baik.
Menghadapi Pemilu 2024, penting bagi generasi muda untuk menyadari betapa pentingnya peran mereka dalam menentukan masa depan Indonesia. Meskipun mereka mungkin skeptis terhadap janji-janji politik, keterlibatan aktif dan kesadaran politik yang kuat adalah kunci untuk membawa perubahan yang positif.
Pemilu adalah momen emas untuk membuat suara mereka didengar, dan mengharapkan pemerintah dan elite politik untuk benar-benar mencermati kebutuhan generasi muda.

)* Penulis adalah kontributor Lembaga Inti Medi

Post Comment