Jaga Persatuan dan Tolak Politisasi SARA Jelang Pemilu
Jaga Persatuan dan Tolak Politisasi SARA Jelang Pemilu
Oleh : Gita Oktaviani
Politisasi SARA masih menjadi ancaman untuk pemilu 2024, narasi bernuansa SARA sangat berbahaya bagi kondusifitas hubungan antar masyarakat. Oleh sebab itu diperlukan upaya konkret guna menjaga persatuan agar rakyat tidak mudah dipecah belah serta menolak segala sesuatu yang bernuansa SARA (Suku, Agara, Ras dan Antargolongan) jelang tahun politik.
Menjaga persatuan dan kesatuan merupakan tanggungjawab seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali. Hal tersebut bertujuan untuk mewujudkan demokrasi yang baik dan beradab, bukan demokrasi sakit yang penuh dengan narasi SARA maupun Hoax.
Pada kesempatan Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan yang dilaksanakan di Simpang Dolok, Djarot Saiful Hidayat selaku Ketua Pengkajian MPR RI berpesan agar selalu menjaga persatuan dan kesatuan menjelang pemilu dengan cara berdemokrasi yang baik. Seperti menggunakan hak pilih, tidak menggunakan politik berbau SARA dan tidak pula menyebarkan ujaran kebencian.
Djarot menyebutkan, bahwa ideologi harus dijaga dengan melakukan sosialisasi tentang 4 pilar yang terkandung dalam Pancasila, keutuhan NKRI dengan membangun toleransi dalam keberagaman. Apalagi Indonesia merupakan negara yang terdiri dari suku-suku bangsa, agama/kepercayaan dll.
Isu SARA merupakan ancaman nyata bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Sebagai bangsa yang besar, tentunya sangat penting bagi semua pihak untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan literasi politik yang positif dan bermanfaat. Karena bagaimanapun juga perbedaan bukan berarti menjadi penghalang untuk saling bekerjasama.
Politik SARA tentu saja tidak bisa dipandang secara sempit, namun harus dikaji dan dilihat pula secara luas sebagai salah satu kelemahan partai atau organisasi politik dalam melakukan kaderisasi dan rekrutmen. Hal ini merujuk pada asumsi bahwa lemahnya kader dalam memperkuat partai maka yang akan dimainkan adalah politik SARA demi mendapatkan suara.
Sementara itu pada 17 Februari 2023 lalu, Rahmat Bagja selaku Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (BAWASLU RI) dalam diskusi Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), menolak adanya politisasi Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Penolakan tersebut merupakan bentuk aksi menciptakan perdamaian menuju Pemilu 2024, agar nantinya yang terpilih merupakan murni dari para pemilih tanpa adanya paksaan ataupun ancaman dari pihak manapun.
Merujuk pada pasal 280 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi norma rujukan dalam memaknai politisasi SARA dan politik identitas, di mana dalam UU tersebut berisi larangan menghina, menghasut, mengadu domba serta melakukan kekerasan dalam kegiatan kampanye. Tentu saja kehadiran kelompok-kelompok ekstrim yang mengusung politisasi SARA dalam dunia politik dapat memecah-belah bangsa.
Pada kesempatan berbeda, Taj Yasin selaku Wakil Gubernur Jawa Tengah meminta agar Isu SARA dalam Pemilu 2024 di Jawa Tengah harus dihentikan. Jangan sampai isu tersebut muncul dan menjadi besar jika dibiarkan. Karena dampaknya tidak hanya menjelang pemilu, bahkan setelah pemilu-pun, residu seperti politisasi SARA masih tetap muncul.
Dirinya juga menambahkan, bahwa masyarakat sudah semestinya mendapatkan pemahaman mengenai kampanye gelap yang menyesatkan, salah satunya adalah politik identitas. Menurut Yasin, meski masyarakat sudah dewasa dalam menanggapi isu politik, namun masih ada beberapa elemen masyarakat yang mudah terhasut, sehingga bisa timbul perpecahan.
Lebih jauh, pria yang akrab disapa Gus Yasin tersebut juga mengimbau agar masyarakat dapat memilih pemimpin yang sudah sesuai dengan keyakinan hati. Dirinya juga mengingatkan agar masyarakat tidak memaksakan pilihannya kepada orang lain.
Dalam menghadapi kontestasi pemilihan umum, kedewasaan berdemokrasi juga sangat dibutuhkan, para elite politik pun harus mencontohkan kepada masyarakat tentang berdemokrasi yang baik, salah satunya dengan menghargai calon yang mendapatkan perolehan suara terbanyak.
Persatuan yang terjaga tentu akan menumbuhkan kerukunan dalam kehidupan dan kedamaian dalam bermasyarakat, jika hal persatuan bisa terawat dengan baik, maka bukan tidak mungkin akselerasi penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya dapat diwujudkan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.
Berpolitik dan berdemokrasi tentu penting untuk membawa bangsa ini terlepas dari jeratan kelelahan, putus asa dan amarah yang memicu konflik serta kekerasan. Paradigma keamanan juga harus diubah dengan meninggalkan kekerasan. Peningkatan keamanan politik bangsa ini yaitu para elit politik perlu menanggalkan ego politiknya, tulus menyetujui untuk menjaga perdamaian.
Tanpa adanya persatuan yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu maupun para founding father Indonesia, kemerdekaan Indonesia tentu hanya akan menjadi sesuatu yang tidak mungkin untuk bangsa, begitu juga saat ini, keterpecahbelahan juga sangat mungkin terjadi jika perbedaan hanya mempertebal polarisasi antar masyarakat. Dalam berdemokrasi, tentu sikap legowo juga haruslah ditunjukkan ketika memang tidak mendapatkan hasil yang diinginkan.
Sebagai bangsa yang besar dan bangsa yang bhineka, penjaga persatuan serta kerukunan merupakan hal yang patut diperjuangkan. Politisasi SARA juga perlu dilenyapkan karena hal tersebut justru akan memperkeruh suasana pesta demokrasi.
)* Penulis adalah Kontributor Jendela Baca Institute
Post Comment