Kotak Kosong Vs Calon Kepala Daerah, Pengamat Pemilu Ramdansyah: Parpol Dirugikan Sebab Harusnya Bisa Mencalonkan Kadernya

JAKARTA – Polemik kotak kosong melawan calon kepala daerah di beberapa daerah pada pilkada serentak 2024, saat ini ramai dibicarakan berbagai pihak. Termasuk warga Jakarta. Hal itu menyusul dinamika politik yang terjadi saat ini.

Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi Ramdansyah mengatakan jika benar terjadi kotak kosong melawan calon kepala daerah, apalagi kalau kotak kosong menang, masyarakat akan dirugikan.

“Kalau sampai kotak kosong menang yang rugi masyarakat. Kepala Daerah akan dijabat oleh Pj. Kepala Daerah dan Pembangunan strategis tidak bisa dilaksanakan, karena kewenangan Pj Gubernur atau Walikota/Bupati sangatlah terbatas. .
Parpol (partai politik) juga rugi, kader mereka kan harusnya mengisi jabatan tersebut,” ujar Ramdansyah saat diskusi interaktif bertajuk Menimbang Manfaat dan Mudarat Kotak Kosong vs Calon Kepala Daerah dalam Pilkada 2024, di Radio Elshinta, Rabu malam (7/8/2024).

Mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta tersebut mengatakan fenomena kotak kosong bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya juga sudah ada.

“Sejak dilakukan pemilu serentak atau kemudian undang-undang tentang pilkada dan kita temukan di beberapa daerah terjadi pilkada melawan kotak kosong,” ujarnya.

“Ada yang menarik ketika pada 2017, di Buton, Sulawesi Tenggara nyaris memenangkan itu adalah kotak kosong . Selisih kekalahan kotak kosong 55,08 persen dibandingkan 44,92 persen kotak kosong,” imbuh Ramdansyah yang merupakan Ketua Bidang Kepemiluan Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam atau MN KAHMI.

“Kenapa muncul fenomena ini kuat?, karena kotak kosong ternyata ada pendukungnya yang merasa kecewa dengan petahana. Kedua merasa petahana diduga melakukan kecurangan. Klik klik itu masyarakat merasa bahwa ini perlu dilawan seperti itu,” ujarnya.

“Tetapi publik kemudian berhadapan dengan partai politik yang hari ini seperti pasar bebas. Memborong semua partai politik dan tidak menyisakan dukungan untuk pasangan lain atau partai politik dengan perolehan suara kecil yang tidak mau bergabung,” imbuh Ramdansyah.

Lebih lanjut Ramdansyah mengatakan, fenomena kotak kosong sebagai problem dalam berdemokrasi. Parpol kenapa tidak berani mencalonkan kadernya.

Padahal kata dia, Undang-Undang partai politik itu sebenarnya memberikan ruang untuk kader partai politik mengisi jabatan publik hingga tingkat nasional.

“Kenapa ini tidak dimanfaatkan? kenapa harus menunggu elit kekuasaan seperti keinginan Pak Jokowi untuk mendorong calonnya. Padahal partai politik itu punya hak untuk mencalonkan. Kalau lebih 20 persen bisa mencalonkan sendiri. Kalau kurang bisa koalisi antar Parpol hingga memenuhi persyaratan 20%,” ujar Ramdansyah.

“Partai politik itu kan didirikan untuk membuat kader-kadernya mengisi jabatan-jabatan politik. Tidak hanya di parlemen tapi juga di eksekutif. Kalau ini tidak punya kemampuan, tidak siap partai politik untuk mengisi kantong kantong itu, maka muncul dugaan bahwa Parpol sebenarnya mendukung nepotisme atau primordialisme. Menunggu keputusan elit-elit politik terkait pilihan mereka itu adalah primordial. Dan Itu jadi problem menurut saya,” imbuhnya.

Namun begitu jelas Ramdansyah, adanya fenomena kotak kosong sah sah saja. Bahkan ketika dibawa ke MK yang menang petahana, kotak kosong kalah.

“Catatan saya ini kita tidak akan mencapai negara demokratis. Transisi demokrasi tidak selesai-selesai menuju masyarakat demokratis,” ujarnya.

Ramdansyah menjelaskan, kotak kosong kebanyakan lawan petahana.

“Karena takut kalah dia borong semua partai politik. Kalaupun ada parpol, seperti di Jakarta ada dugaan Parpol pengusung akan meninggalkan pasangan calon di tengah jalan, sehingga tidak mendapatkan 20 persen syarat pencalonan. Tahapan pencalonan sudah ada mahar politik,” ujarnya.

Saat ditanyakan kalau yang menang adalah kotak kosong? Ramdansyah mengatakan pemilu diulang dalam arti satu tahun berikutnya.
“Kepala daerah dijabat oleh Pj. yang dilantik oleh Mendagri. Sebagaimana diatur dalam undang undang pasal 54 Undang undang nomor 10 tahun 2016.
Dijabat oleh PJ, pembangunan bukannya berhenti, tapi tidak terdapat akselerasi pembangunan yang sangat strategis. Ditunda pembangunan strategis, hingga terpilihnya kepala daerah di Pilkada berikutnya,” ujarnya.

“Kalau sampai kotak kosong menang yang rugi masyarakat. Parpol juga rugi, kader mereka kan harusnya mengisi jabatan tersebut. Ketika melawan kotak kosong, Bawaslu juga ada tendensi melakukan pengawasannya ala kadarnya. Padahal tidak bisa seperti itu. Semua tahapan harus diawasi dengan baik,” pungkasnya.

Post Comment