Mendorong Penguatan Tokoh Lintas Agama Cegah Politisasi SARA Jelang Pemilu 2024
Mendorong Penguatan Tokoh Lintas Agama Cegah Politisasi SARA Jelang Pemilu 2024
Oleh : Arzan Malik Narendra
Peranan dari para tokoh lintas agama memang menjadi sangat penting untuk bisa terjun langsung ke masyarakat dan menyampaikan sosialisasi atau imbauan agar seluruh elemen masyarakat mampu saling mewaspadai adanya kemungkinan praktik politisasi SARA dalam keberlangsungan pesta demokrasi Pemilu 2024 mendatang.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah secara resmi mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) menjadi Undang-Undang (UU). Dengan adanya pengesahan tersebut, berarti pula menjadi tanda bahwa memang kontestasi nasional pesta demokrasi Pemilu harus berjalan dengan tepat waktu pada tahun 2024 mendatang.
Terkait hal tersebut, Ketua DPR RI, Puan Maharani menyampaikan bahwa dengan adanya Perppu Nomor 1 menjadi UU tersebut menandakan bahwa memang seluruh masyarakat Indonesia akan segera menyongsong gelaran Pemilu pada tahun 2024 mendatang.
Bukan hanya itu, dirinya kemudian juga berhadap supaya berjalannya pesta demokrasi yang sebentar lagi akan dilaksanakan itu mampu berjalan dengan aman, nyaman, bahagia dan juga gembira.
Setelah pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemilu menjadi UU oleh DPR RI, maka memang sudah seharusnya keberlakuan kebijakan tersebut bisa dijalankan dengan sangat baik oleh berbagai pihak, khususnya dalam hal ini adalah Pemerintah RI dan juga pihak penyelenggara Pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam mengawal seluruh proses dan melaksanakan semua tahapan hingga pencoblosan pada tanggal 14 Februari 2024 nanti.
Tentunya dengan penyelenggaraan pesta demokrasi Pemilu 2024 yang sudah di depan mata, maka tantangan juga terus menghantui gelaran tersebut. Salah satu yang terus menjadi tantangan dalam proses pelaksanaan Pemilu adalah adanya praktik politisasi yang menggunakan unsur Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA), atau yang biasa juga dikenal dengan politisasi identitas.
Menurut Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Herwyn JH Malonda bahwa adanya politisasi identitas merupakan hal yang sangatlah berbahaya dalam penyelenggaraan Pemilu. Bagaimana tidak, pasalnya bermula dari adanya praktik politik identitas, maka akan sangat berpotensi untuk mendatangkan kekerasan dan juga kerusuhan berbasis SARA di tengah masyarakat, termasuk juga akan mampu untuk memecah belah bangsa.
Lebih lanjut, apabila isu dan praktik politisasi SARA masih terus berlanjut di masyarakat, maka juga akan ada penolakan pada calon tertentu namun dengan dalih atas latar belakang identitasnya seperti latar belakang sukunya, etnisnya atau agamanya. Sehingga jelas kalau hal itu merusak demokratisasi yang ada di Indonesia.
Padahal seharusnya dalam kontestasi Pemilu, maka setiap calon pemimpin atau peserta Pemilu harus bisa berkontestasi dengan menonjolkan bagaimana ide atau gagasan mereka dan juga bagaimana visi dan misi mereka, termasuk juga bagaimana program yang mereka tawarkan kepada masyarakat.
Sehingga dengan itu semua, nantinya masyarakat akan mampu memilah dan memilih kiranya mana calon pemimpin yang memang dianggap cocok dan pas untuk memimpin Indonesia ke depannya, namun sama sekali pertimbangan akan pemilihan ataupun penolakan tersebut murni dari gagasan, dan bukannya datang dikarenakan latar belakang identitas dari sang calon pemimpin.
Maka dari itu, memang adanya praktik politisasi SARA menjadi momok dan juga tantangan tersendiri yang harus bisa segera diantisipasi oleh seluruh elemen masyarakat. Salah satu yang menjadi sangat penting dalam upaya mengantisipasi praktik politik identitas adalah bagaimana peranan dari para tokoh lintas agama yang bisa dikatakan menjadi kunci penting untuk bisa mewujudkan gelaran Pemilu 2024 mendatang menjadi berkualitas.
Apabila para tokoh lintas agama tersebut mampu proaktif dan juga ikut mensosialisasikan kepada masyarakat pemilih untuk bisa menggunakan hak pilih mereka dan juga ikut menolak apabila ada praktik politik uang dan politik identitas, maka tentunya berjalannya pesta demokrasi pada tahun 2024 mendatang akan sangat berkualitas.
Masyarakat sebagai pemilih memang harus diberikan pemahaman mengenai bagaimana teknis dari tahapan Pemilu dengan baik dan benar, termasuk juga mendorong agar mereka mampu menyalurkan hak pilihnya. Dalam hal tersebut, peranan para tokoh lintas agama sangatlah strategis dalam menyampaikan imbauan itu secara langsung kepada masyarakat dan terjun ke masyarakat.
Tidak mengherankan pula mengapa Bawaslu mengajak seluruh stakeholder, termasuk juga para tokoh lintas agama untuk bersama-sama menangkal adanya politisasi SARA di masyarakat lantaran memang semua pihak sebenarnya memiliki peranan untuk bisa turut mensukseskan pesta demokrasi mendatang.
Praktik politisasi SARA merupakan hal yang banyak sekali mendatangkan dampak negatif, termasuk di dalamnya akan mampu memecah belah NKRI dan juga menurunkan tingkat kualitas demokrasi pada bangsa ini. Maka dari itu, sangat penting untuk bisa mencegah jangan sampai praktik politik identitas terus digunakan dalam ajang Pemilu 2024 mendatang. Dalam hal ini, peranan para tokoh lintas agama menjadi sangat penting.
)* Penulis adalah kontributor Lembaga Siber Nusa
Post Comment