Mengutuk Kebiadaban OPM yang Tebar Ketakutan dan Penderitaan

Mengutuk Kebiadaban OPM yang Tebar Ketakutan dan Penderitaan

Oleh: Dominggus Alam

Kekerasan yang terus berulang di Papua telah melampaui batas toleransi nalar kemanusiaan. Aksi pembunuhan terhadap para pendulang emas di wilayah Kali Silet, perbatasan Yahukimo dan Asmat, merupakan contoh mutakhir dari brutalitas yang dilakukan oleh kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM), khususnya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pimpinan Elkius Kobak.

Peristiwa ini kembali membuka luka lama, mempertegas bahwa kelompok bersenjata tersebut tidak sedang memperjuangkan aspirasi rakyat Papua, melainkan memupuk ketakutan dan penderitaan.

Dandim 1715/Yahukimo, Letkol Inf Tommy Yudistyo, mengatakan serangan terhadap para pendulang terjadi pada Minggu, 6 April 2025. Akses menuju lokasi kejadian sangat sulit, harus menggunakan helikopter atau perahu motor.

Fakta ini memperlihatkan bahwa wilayah-wilayah terpencil yang semestinya menjadi titik pembangunan dan kesejahteraan justru dijadikan ladang kekerasan oleh kelompok yang menolak segala bentuk kemajuan. Sementara aparat tengah berupaya melakukan evakuasi dan pengamanan, kelompok bersenjata terus menebar ancaman, memperlihatkan wajah asli dari aksi yang mereka bungkus dengan narasi kemerdekaan.
Dalam pandangan publik, OPM kerap menggambarkan dirinya sebagai representasi dari perjuangan rakyat Papua. Namun, kenyataan di lapangan membantah klaim tersebut. Mereka justru kerap menjadikan masyarakat sipil sebagai korban utama. Mulai dari tenaga kesehatan, guru di pelosok, hingga pekerja proyek infrastruktur yang tengah memperjuangkan akses publik di Papua, semuanya menjadi target kekejaman. Aksi penyanderaan dan pembunuhan tak hanya menciptakan rasa takut, tapi juga menghancurkan harapan atas perubahan.
Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Brigadir Jenderal TNI Kristomei Sianturi, menilai bahwa propaganda perang yang dilontarkan oleh TPNPB-OPM bukanlah strategi perjuangan, melainkan bentuk intimidasi terhadap masyarakat. Seruan “perang sampai kiamat” yang dilontarkan oleh juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, justru menunjukkan bahwa kelompok ini telah kehilangan arah perjuangan. Bukan lagi memperjuangkan hak-hak politik, melainkan membangun teror demi eksistensi.
Kekerasan bukanlah jalan menuju kemerdekaan. Dalam negara demokratis, aspirasi politik disalurkan melalui ruang dialog, musyawarah, dan konstitusi. Pemerintah telah membuka ruang yang luas untuk itu, bahkan melalui skema Otonomi Khusus dan pendekatan pembangunan yang inklusif. Trans Papua, konektivitas logistik, dan layanan kesehatan serta pendidikan yang ditingkatkan adalah upaya nyata membangun Papua dari pinggiran. Ironisnya, proyek-proyek ini sering menjadi sasaran serangan kelompok bersenjata. Korban dari serangan ini bukan hanya fisik infrastruktur, tapi juga semangat warga yang ingin hidup lebih baik.
Realitas ini menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh OPM telah keluar dari konteks politik yang sah. Alih-alih memperjuangkan nasib rakyat Papua, mereka justru menjerumuskan rakyat ke dalam ketakutan dan keterisolasian. Dalam banyak kasus, kelompok ini bahkan menghalangi distribusi bantuan sosial, pengiriman logistik, dan mobilitas tenaga medis. Situasi ini menjadi paradoks besar bagi cita-cita perjuangan yang mereka gembar-gemborkan.
Lebih dari sekadar aksi bersenjata, tindakan OPM telah menjelma menjadi hambatan serius bagi pembangunan dan rekonsiliasi. Kekerasan sistematis yang mereka lakukan adalah bentuk nyata pelanggaran HAM yang seharusnya dikutuk oleh komunitas internasional. Selama ini, banyak sorotan hanya tertuju pada pendekatan aparat keamanan. Padahal, aksi sepihak dan brutal dari OPM jauh lebih destruktif terhadap kehidupan masyarakat sipil Papua. Ketidakseimbangan narasi ini perlu dikoreksi agar publik global memahami akar sebenarnya dari konflik yang terjadi.
Kekejaman OPM juga telah merusak hubungan sosial di Papua. Ketegangan horizontal antarwarga meningkat karena adanya rasa curiga dan ketidakpercayaan. Di beberapa daerah, warga bahkan terpaksa mengungsi dari kampung halaman demi menyelamatkan nyawa. Anak-anak kehilangan pendidikan, masyarakat kehilangan akses kesehatan, dan ekonomi lokal terpuruk akibat gangguan keamanan yang terus terjadi.
Narasi perjuangan yang disuarakan OPM sudah sepatutnya dipertanyakan kembali. Bila benar mereka peduli terhadap rakyat Papua, mengapa justru rakyat menjadi korban utama? Mengapa para guru dibunuh, sekolah dibakar, dan rumah ibadah dijadikan target? Kekerasan yang tidak pandang bulu ini tidak memiliki tempat dalam tatanan yang beradab. Bahkan mereka yang pernah mengabdi sebagai aparat keamanan, seperti mantan Kapolsek Mulia di Puncak Jaya, turut menjadi sasaran kekejaman. Ini adalah sinyal bahwa OPM tidak menginginkan damai, tapi mempertahankan kekacauan demi kekuasaan lokal yang semu.
Pemerintah telah menunjukkan iktikad baik melalui pendekatan dialog, pelibatan tokoh adat, dan pemuda Papua dalam perumusan kebijakan. Pendekatan ini layak diperkuat agar masyarakat Papua benar-benar merasa menjadi bagian dari bangsa Indonesia secara utuh. Di sisi lain, tindakan kelompok bersenjata seperti OPM harus mendapatkan kecaman keras dari semua pihak, termasuk media, akademisi, dan organisasi hak asasi manusia. Tidak boleh ada pembiaran terhadap kekerasan yang menargetkan rakyat sipil.
Kekejaman bukanlah simbol kekuatan. Ia adalah tanda ketakutan dan kebuntuan ideologi. Papua yang damai hanya akan terwujud jika senjata diturunkan dan dialog dibuka. Rakyat Papua membutuhkan ruang aman, bukan medan perang. Membangun harapan dan masa depan Papua tidak bisa dilakukan melalui peluru, tetapi melalui pendidikan, kesehatan, pembangunan ekonomi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Teror hanya akan memperdalam luka, sementara perdamaian adalah jembatan menuju keadilan sejati.
)* Pemuda Papua Peduli Perdamaian – Asosiasi Anak Papua Barat

Post Comment