Mewujudkan Pilkada Berintegritas Menolak Politisasi SARA
Mewujudkan Pilkada Berintegritas Menolak Politisasi SARA
Oleh : Indra Fajar Mahendra
Menjelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada tantangan besar yang menguji kekompakan dan kesatuan sebagai bangsa. Di tengah hiruk-pikuk politik, isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) sering kali diangkat sebagai senjata untuk meraih simpati atau bahkan menciptakan perpecahan.
Namun, jika kita ingin mewujudkan Pilkada yang berintegritas, sudah seharusnya kita bersama-sama menolak politisasi SARA. Tidak hanya untuk menjaga stabilitas sosial, tetapi juga demi memastikan masa depan demokrasi yang sehat dan bermartabat.
Kabid Humas Polda Kalimantan Tengah, Kombes Pol. Erlan Munaji, telah mengingatkan masyarakat di provinsi tersebut untuk mewaspadai isu-isu SARA yang mungkin muncul menjelang Pilkada. Isu-isu ini berpotensi memicu konflik sosial yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban di wilayah hukum Polda Kalteng.
Peringatan ini bukanlah tanpa dasar, mengingat sejarah kita yang telah mencatat bagaimana isu SARA dapat merusak keharmonisan dan kebhinekaan yang kita banggakan.
Langkah-langkah preventif telah diambil oleh Polda Kalteng untuk menjaga persatuan dan menghindari penyebaran isu-isu yang dapat memecah belah masyarakat. Dengan meningkatkan patroli dan pengawasan di berbagai wilayah, Polda Kalteng berusaha memastikan bahwa provinsi yang luasnya dua kali lipat dari Pulau Jawa tersebut tetap aman dan kondusif menjelang hari H Pilkada serentak.
Namun, ini bukan hanya tugas aparat keamanan semata, melainkan juga tanggung jawab kita sebagai warga negara yang peduli terhadap masa depan bangsa.
Masyarakat diimbau untuk tidak mudah percaya dengan informasi yang beredar, terutama yang berkaitan dengan berita hoaks. Sikap kritis dan bijak dalam menerima informasi menjadi kunci untuk menghindari provokasi yang dapat merusak tatanan sosial.
Patroli siber juga gencar dilakukan oleh Polda Kalteng untuk menekan penyebaran berita hoaks dan ujaran kebencian di media sosial. Ini adalah bentuk respons proaktif yang sangat diperlukan di era digital, di mana informasi dapat menyebar dengan cepat dan luas.
Tak hanya Polda Kalteng yang aktif dalam pencegahan polarisasi SARA. Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga turut mengambil langkah strategis. KPU mengimbau kepada semua peserta pilkada dan relawan untuk menjauhi ujaran kebencian.
Anggota KPU Idham Holik menjelaskan bahwa larangan terhadap ujaran kebencian sudah diatur dalam Peraturan KPU tentang Kampanye. Dalam peraturan tersebut terdapat beberapa pasal yang melarang penyampaian ujaran kebencian.
Idham Holik mengingatkan bahwa dalam setiap pilkada atau pemilu, narasi-narasi atau ujaran kebencian sering kali muncul untuk merusak reputasi lawan politik. Oleh karena itu, ia mengajak semua pihak untuk mematuhi aturan kampanye dan menggunakan komunikasi yang etis.
Idham yakin bahwa semua pihak sudah memahami aturan yang ada dan berharap bahwa saat kampanye berlangsung, komunikasi yang dilakukan akan lebih terjaga dan tidak menimbulkan konflik.
Sementara itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta memprediksi adanya peningkatan ujaran kebencian pada Pilkada 2024. Burhanuddin, anggota Bawaslu DKI Jakarta, mengungkapkan bahwa pelanggaran terkait SARA dan ujaran kebencian diperkirakan akan menjadi salah satu kerawanan tinggi.
Bawaslu menilai bahwa kerawanan ini memperoleh skor 100, mengindikasikan potensi dampak yang sangat besar terhadap proses pilkada. Berdasarkan laporan Bawaslu, klasifikasi kerawanan ini didasarkan pada daya kerusakan yang ditimbulkan oleh pelanggaran, kuantitas informasi dari berbagai daerah, dan intensitas peristiwa yang terjadi dalam pemilu sebelumnya.
Burhanuddin menegaskan bahwa upaya pencegahan harus dilakukan secara menyeluruh, melibatkan semua pihak, dan harus ada tindakan tegas terhadap pelanggaran.
Pilkada seharusnya menjadi momen untuk merayakan demokrasi, bukan untuk memecah belah. Dalam suasana kompetisi politik yang semakin memanas, mudah bagi isu SARA untuk dimanfaatkan sebagai alat politik yang berbahaya.
Namun, sebagai bangsa yang menghargai perbedaan dan keberagaman, kita harus bersatu padu menolak segala bentuk politisasi SARA. Ini bukan hanya soal menjaga kedamaian, tetapi juga soal mempertahankan nilai-nilai yang menjadi fondasi berdirinya negara ini.
Selain itu, menjaga kondusifitas selama Pilkada juga berarti memberikan ruang bagi kontestasi yang sehat dan berdasarkan gagasan, bukan berdasarkan sentimen primordial yang dangkal. Inilah saatnya kita sebagai masyarakat pemilih juga menjadi lebih cerdas dalam menilai dan memilih pemimpin yang benar-benar berkomitmen pada kemajuan daerah dan bangsa.
Tidak kalah pentingnya, peran media dalam Pilkada juga harus diarahkan untuk mendidik dan mencerahkan masyarakat, bukan untuk memanaskan situasi dengan menyebarkan berita-berita yang tendensius atau tidak terverifikasi.
Media harus menjadi penopang demokrasi yang adil dan berimbang, memberikan informasi yang objektif dan menghindari penyebaran narasi-narasi yang dapat memecah belah.
Jika kita ingin mewujudkan Pilkada berintegritas, maka sudah saatnya kita berani melawan politisasi SARA dengan segala bentuknya. Tentu ini bukan tugas yang mudah, mengingat kompleksitas dan tantangan yang ada di lapangan.
Namun, dengan kesadaran kolektif dan kerjasama dari semua elemen masyarakat, kita bisa melakukannya. Mulai dari aparatur negara, penyelenggara pemilu, para calon dan tim suksesnya, hingga masyarakat luas, maka semua harus berperan aktif dalam menjaga keutuhan bangsa ini.
Mari kita jadikan Pilkada 2024 sebagai ajang pembuktian bahwa demokrasi di Indonesia semakin matang dan bermartabat. Menolak politisasi SARA bukan hanya tentang menjaga keamanan dan ketertiban, tetapi juga tentang menghargai dan melindungi keberagaman yang menjadi kekayaan bangsa ini.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers Ruang Baca Nusantara
Post Comment