PAUS FRANSISKUS, GEMBALA AGAMA CINTA

PAUS FRANSISKUS, GEMBALA AGAMA CINTA

Yudi Latif
Cendekiawan

Kata Pengantar untuk Buku “Benvenuto Papa Francesco: Sang Reformer, Pesan dan Kesaksian”, karya St. Sularto & T. Krispurwana Cahyadi, SJ

“Yang Mulia, agama apakah yang paling baik?” Tanya Leonardo Boff (perintis teologi pembebasan dari Brasil) kepada Dalai Lama (tokoh spiritual Buddha dari Tibet), dalam sesi reses pada sebuah diskusi tentang agama dan kebebasan. Boff menduga jawabannya adalah agama Buddha Tibet atau agama oriental lain yang lebih tua dari Kristianitas. Tak dinyana, sambil tersenyum, Dalai Lama menjawab, “Agama terbaik adalah agama yang lebih mendekatkanmu pada Tuhan (Cinta), yaitu agama yang membuatmu menjadi orang yang lebih baik.”

Sambil tersipu karena jawaban yang sangat bijaksana, Boff melanjutkan, “Apa yang membuat saya menjadi lebih baik?” Sang Bhikkhu menjawab, “Apa pun yang membuatmu lebih berwelas asih, sadar, terlepas, mencintai, berprikemanusiaan, bertanggung jawab, etis. Agama yang melakukan semua itu terhadapmu adalah ajaran agama yang terbaik.”

Jika ada yang masih sangsi akan kemungkinan agama bisa membentuk akhlak mulia seperti itu, keteladanan Paus Fransiskus bisa diajukan sebagai salah satu buktinya. Terlahir di Buenos Aires, Argentina (1936), dengan nama Jorge Mario Bergoglio, Paus Fransiscus adalah imam Jesuit pertama, juga orang dari Amerika Latin dan Belahan Bumi Selatan pertama yang terpilih sebagai Paus.

Perjalanan hidupnya memperlihatkan kemampuannya mengubah kerentanan menjadi sumber kekuatan pelayanan, seakan menjadi living example dari ungkapan Friedrich Nietzsche, “Apa yang tak membunuhku membuatku lebih kuat.” Setelah lolos dari penyakit pneumonia dan kista yang parah, beliau terinspirasi untuk bergabung dengan Jesuit dengan ketabahan setegar baja mengarungi segala kesulitan sebagai gembala.

Saat beliau menjadi Uskup Agung Buenos Aires (1998-2013), salah satu terobosan inisiatifnya adalah meningkatkan kehadiran gereja di daerah kumuh, dengan menambah jumlah pastor yang ditugaskan di kawasan tersebut, yang membuatnya disebut “uskup kumuh”. Bergoglio juga membuat kebiasaan merayakan ritual Kamis Putih dengan mencuci kaki orang-orang “terhempas” seperti di penjara, rumah sakit, panti jompo atau daerah kumuh.

Selain itu, Bergoglio memimpin gereja dalam melancarkan kritik terhadap kezaliman kekuasaan. Ia adalah orang pertama yang memulihkan relasi dengan Jerónimo Podestá, mantan uskup agung yang diskors sebagai pastor karena menentang kediktatoran militer Revolusi Argentina (1971). Ia juga menganjurkan Gereja Katolik Argentina untuk “mengenakan pakaian penebusan dosa di depan umum atas dosa-dosa yang dilakukan selama tahun-tahun kediktatoran pada 1970-an.” Ia pun memimpin gereja Argentina selama kerusuhan massal pada Desember 2001, yang membuatnya dianggap oleh rezim pemerintahan sebagai saingan politik.

Dengan rekam sejak seperti itu, saat ditahbiskan menjadi Paus (sejak 13 Maret 2013), Bergoglio memilih Fransiskus sebagai nama kepausannya untuk menghormati Santo Fransiskus dari Assisi. Dan pilihan nama itu sungguh tepat. Sebagai pemimpin gereja Katolik sedunia dengan pengaruh melampui batas-batas gereja, beliau bisa menjelmakan diri sebagai manifestasi dari doa Santo Fransiskus Assisi yang sangat terkenal. “Tuhanku, jadikan aku instrumen kedamaian-Mu. Tatkala ada kebencian, biarkan kutaburkan cinta; tatkala ada luka, maaf; tatkala ada keraguan, keyakinan; tatkala ada keputusasaan, harapan; tatkala ada kegelapan, cahaya; tatkala ada kesedihan, keceriaan.”

Dalam kepemimpinan publiknya, Paus Fransiskus sungguh-sungguh membawakan dirinya sebagai representasi ajaran sosial Gereja Katolik. Kesungguhan komitmennya itu terpancar dalam ketulusan ungkapannya, “Sungai tak minum airnya sendiri; pohon tak makan buahnya sendiri; kembang tak pancarkan aroma bagi dirinya; mentari tak bersinar bagi dirinya. Hidup bagi orang lain adalah suatu hukum alam. Kita terlahir untuk saling membahagiakan.”

Dengan kredo tersebut, Paus menekankan pentingnya menghormati martabat manusia, dengan melindungi hak hidup (menentang hukuman mati), peduli dan respek terhadap sesama dengan sikap rendah hati dan penuh belas kasih.

Kedua, mengembangkan kebajikan hidup bersama dengan menghidupkan semangat toleransi, rekonsiliasi dan dialog antaragama. Di antara upayanya yang terkemuka,,bersama Imam Besar Al-Azhar, Dr. Ahmed Al-Tayyeb, meluncurkan Deklarasi Abu-Dhabi, yang berisi dokumen tentang persaudaraan manusia untuk perdamaian dunia dan hidup bersama. Paus juga membantu memulihkan hubungan diplomatik antara Amerika Serikat dan Kuba, membantu penanganan pengungsi selama krisis migran Eropa dan Amerika Tengah, serta mengupayakan kesepakatan dengan Tiongkok tentang batas-batas otoritas Gereja Katolik dan negara RRT.

Ketiga, memperkuat solidaritas dengan ketetapan hati yang mantap dan tekun untuk membaktikan diri pada kesejahteraan umum dan kebajikan hidup bersama. Hal itu dilakukan antara lain dengan melancarkan kritik terhadap kapitalisme tak terkendali, ekonomi pasar bebas, ketimpangan ekonomi, konsumerisme dan pembangunan berlebihan.

Keempat, memberikan perhatian pada mereka yang kurang beruntung seperti kaum miskin, para pengungsi dan kelompok-kelompok marginal yang terdiskriminasikan. Kelima, merawat alam ciptaan sebagai rumah bersama, dengan menganjurkan tindakan nyata terhadap perubahan iklim, pemanasan global, serta seruan ke arah pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

Alhasil, ajaran sosial gereja yang dikembangkan oleh Paus Fransiskus sangat sejalan dengan prinsip dan moral Pancasila: Ketuhanan welas asih yang berkebudayaan (berkeadaban); kepedulian dan penghormatan kemanusiaan universal; persatuan dalam keragaman; konsensus dengan hikmat-kebijaksanaan, serta kemakmuran yang berkeadilan (baik antar-sesama sezaman maupun antar-generasi).

Demikianlah, dalam “agama cinta” (rahmat bagi semesta), kebenaran dan keadilan tak mengenal penganut dan bukan penganut. Cinta memeluk semuanya. Manusia boleh berbeda keyakinan, tapi cinta menyatukannya. Seperti kata Ali bin Abi Thalib, “Mereka yang bukan saudara dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”

Perwujudan ajaran sosial “agama cinta” yang sejalan dengan semangat moral Pancasila itu sungguh-sungguh diperlukan untuk memulihkan luka dan prahara kemanusiaan masa kini. Berbagai krisis, konflik dan kekerasan sosial yang melanda dunia saat ini antara lain disebabkan oleh merebaknya kecenderungan pemahaman, penghayatan dan pengamalan keagamaan yang tidak lagi mencerminkan semangat “ketuhanan yang berkebudayaan”; “yang lapang dan toleran”, sebagaimana ditandaskan oleh Bung Karno.

Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan eksterioritas formalisme peribadatan, tanpa kesanggupan menggali interioritas nilai spiritualitas dan moralitas hanyalah berselancar di permukaan gelombang bahaya.  Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual, keberagamaan menjadi mandul, kering dan keras; tak memiliki sensitivitas-kontemplatif, conscious-intimacy, daya-daya kuratif serta hubungan-hubungan transformatif dengan yang suci dan yang profan.

Tanpa penghayatan spiritual yang dalam, orang akan kehilangan apa yang disebut penyair John Keats sebagai negative capability, yakni kesanggupan untuk berdamai dengan ketidakpastian, misteri dan keraguan dalam hidup. Tanpa menghikmati misteri, manusia memaksakan absolutisme sebagai respons ketakutan atas kompleksitas kehidupan dunia, yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan ancaman keluar.

Pemulihan krisis kehilangan basis kepercayaannya ketika agama yang seharusnya membantu manusia untuk menyuburkan rasa kesucian, kasih sayang dan perawatan, justru sering kali memantulkan rasa keputusasaan dan kekerasan zaman dalam bentuk terorisme, permusuhan, dan intoleransi.

Dalam kaitan itu lah, kehadiran Paus Fransiskus dan kunjungannya ke Indonesia bisa menjadi oase di tengah gurun kekeringan dunia kehidupan yang harus disambut dengan suka cita. Untuk bisa lebih menghayati makna kehadiran Sang Paus di pentas dunia dan kunjungannya ke negeri ini, buku Benvenuto Papa Francesco, karya St. Sularto dan T. Krispurwana Cahyadi, SJ ini bisa menjadi panduan dan mitra pengenalan. Lewat buku ini, kita diajak untuk mengenal lebih dekat, jejak langkah perjuangan dan keteladan Sang Paus sebagai reformer dalam Gereja Katolik dan juga dalam kepemimpinan moral semesta kemanusiaan.

*Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Kompas; sudah tersedia di Toko Buku Gramedia

Post Comment