Regulasi Baru UU TNI Pertegas Batasan Militer di Ranah Sipil
Regulasi Baru UU TNI Pertegas Batasan Militer di Ranah Sipil
Oleh: Yusuf Setiawan
Pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru oleh DPR RI pada 20 Maret 2025 menjadi tonggak penting dalam memperjelas batasan antara militer dan ranah sipil di Indonesia. Regulasi ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga profesionalisme TNI sekaligus memastikan supremasi sipil tetap menjadi prinsip utama dalam sistem demokrasi.
Salah satu poin krusial dalam revisi UU TNI adalah pembatasan penempatan prajurit aktif di jabatan sipil. Pasal 47 dalam regulasi tersebut menegaskan bahwa anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan di 14 kementerian dan lembaga (K/L) tertentu yang berkaitan erat dengan pertahanan negara. Di luar institusi yang telah diatur, prajurit aktif diwajibkan mengundurkan diri atau pensiun sebelum menempati jabatan sipil. Kebijakan ini menegaskan upaya pemerintah untuk menghindari potensi kembalinya dwifungsi militer yang sempat menjadi kekhawatiran publik.
Ketua MPR RI, Ahmad Muzani menilai ketakutan akan bangkitnya militerisme tidak beralasan. Menurutnya, regulasi baru justru menjadi mekanisme pembatasan yang lebih ketat, memastikan prajurit TNI tidak bebas memasuki ranah sipil tanpa regulasi yang jelas. Ia menegaskan bahwa penempatan prajurit aktif hanya diperbolehkan di jabatan yang terkait dengan tugas pertahanan negara. Dengan demikian, kekhawatiran masyarakat akan peran ganda militer di luar fungsi utamanya telah dijawab secara tegas melalui regulasi ini.
Selain itu, revisi UU TNI ini memperluas cakupan penugasan dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Kini, tugas TNI tidak hanya terbatas pada 14 kategori, tetapi bertambah menjadi 16, termasuk penanggulangan ancaman siber dan perlindungan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri. Perluasan ini dianggap sebagai langkah strategis menghadapi tantangan keamanan modern yang semakin kompleks, seperti perang hibrida dan ancaman di dunia maya.
Anggota Komisi I DPR RI, Amelia Anggraini menggarisbawahi bahwa meski ada perluasan peran TNI, prinsip demokrasi tetap menjadi landasan utama. Regulasi ini dirancang agar TNI memiliki landasan hukum yang kuat dalam menjaga kedaulatan negara tanpa melampaui batas yang dapat mengganggu supremasi sipil. Keputusan untuk mewajibkan prajurit aktif mundur sebelum menempati jabatan sipil di luar 14 institusi yang diizinkan menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjaga pemisahan yang tegas antara militer dan sipil.
Panglima TNI Agus Subiyanto juga mendapat perhatian dalam pelaksanaan aturan ini. Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin menegaskan pentingnya segera menerapkan regulasi dengan ketat. Ia mendesak agar seluruh prajurit yang saat ini menempati jabatan sipil di luar institusi yang diizinkan segera mengundurkan diri atau pensiun sesuai aturan. Langkah ini dinilai penting untuk menjaga stabilitas organisasi serta memastikan profesionalisme TNI dalam menjalankan tugas utamanya.
Perluasan penempatan prajurit aktif ke beberapa kementerian dan lembaga tidak dimaksudkan untuk memberi ruang bagi militerisme, melainkan memastikan bahwa tugas-tugas strategis dalam pertahanan negara dapat dijalankan secara efektif. Lemhannas, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), hingga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merupakan contoh lembaga yang berperan penting dalam menjaga keamanan nasional. Oleh karena itu, kehadiran prajurit TNI aktif di institusi tersebut dianggap relevan dan sejalan dengan kebutuhan pertahanan negara.
Gubernur Lemhannas, Ace Hasan Syadzily, menilai bahwa regulasi baru ini merupakan bentuk penyesuaian terhadap kebutuhan zaman. Ia menekankan bahwa supremasi sipil tetap menjadi prinsip utama dalam negara demokrasi. Dalam pandangannya, menempatkan prajurit TNI di ranah sipil tanpa regulasi yang jelas berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan kekuasaan. Oleh karena itu, pembatasan yang diatur dalam UU TNI terbaru dianggap sebagai langkah tepat dalam menjaga keharmonisan antara fungsi militer dan sipil.
Dukungan terhadap pemerintah dalam mengesahkan regulasi ini juga mencerminkan keyakinan bahwa reformasi dalam tubuh TNI harus terus berlanjut. Profesionalisme militer tidak hanya diukur dari kemampuan bertempur, tetapi juga dari ketaatan terhadap prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Pemerintah telah menunjukkan komitmen yang kuat dalam memastikan bahwa reformasi ini berjalan sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan internasional.
Ahmad Muzani juga mendorong agar sosialisasi regulasi ini dilakukan secara masif. Menurutnya, pemahaman yang komprehensif di kalangan masyarakat sipil dan para pemangku kepentingan sangat penting untuk menghilangkan kesalahpahaman. Ia menyebut bahwa kekhawatiran yang muncul sering kali disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang substansi regulasi. Dengan sosialisasi yang baik, diharapkan semua pihak dapat menerima dan mendukung pelaksanaan UU TNI yang baru.
Pengesahan UU TNI ini menegaskan bahwa pemerintah tidak hanya berfokus pada modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) tetapi juga pada pembenahan regulasi yang memastikan TNI tetap profesional dan netral. Penegasan batasan antara ranah militer dan sipil menjadi bagian penting dari reformasi ini, yang bertujuan menjaga harmoni dalam sistem demokrasi.
Dengan regulasi yang lebih jelas dan tegas, pemerintah berusaha memastikan bahwa TNI dapat menjalankan tugasnya sebagai penjaga kedaulatan negara tanpa melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Regulasi baru ini membuktikan bahwa pemerintah serius dalam membangun militer yang kuat tanpa mengorbankan supremasi sipil. Hal ini menjadi bukti bahwa Indonesia terus bergerak ke arah yang lebih baik dalam menjaga keseimbangan kekuatan antara militer dan otoritas sipil.
)* Analisis Kebijakan Publik
Post Comment