UU Ciptaker Berpihak pada Buruh, Mayday Diharapkan Berlangsung Damai
UU Ciptaker Berpihak pada Buruh, Mayday Diharapkan Berlangsung Damai
Oleh : Gema Iva Kirana
Seluruh aspirasi dari para pekerja dan buruh sejatinya semua sudah tertampung dalam UU Cipta Kerja yang diterbitkan oleh Pemerintah RI. Maka dari itu, hendaknya masyarakat harus bisa memahami dan mengetahui serta membedakan mana informasi yang salah dan benar, agar tidak terus menyebarluas dan kerap menimbulkan mispersepsi pada masyarakat.
Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) beberapa waktu lalu sebenarnya merupakan sebuah respon cepat dan tepat untuk bisa menjawab seluruh tantangan dan peluang ketenagakerjaan di Indonesia.
Mengenai penerbitan aturan tersebut, Deputi III Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Perekonomian, Edy Priyono menyatakan bahwa seluruh proses dari awal perancangan hingga penerbitan UU Cipta Kerja sendiri memang sebenarnya semua telah sesuai dengan aspirasi publik.
Bagaimana tidak, pasalnya Pemerintah RI sendiri sudah banyak dan seringkali melakukan sosialisasi hingga diskusi terbuka untuk bisa menjaring aspirasi dan menyerap suara pendapat dari masyarakat untuk bisa terus melakukan perbaikan akan produk hukum mengenai ketenagakerjaan di Indonesia.
Bahkan, pada prosesnya sendiri, dijalankan oleh (Menteri Koordinator) Kemenko Perekonomian dan juga Satgas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) 10 Tahun 2021. Setidaknya, dirinya mencatat bahwa sudah ada sebanyak 14 event untuk penjaringan aspirasi dan penampungan seluruh pendapat dari komponen masyarakat tersebut.
Edy menambahkan, bahwa termasuk, di dalam seluruh upaya jaring aspirasi masyarakat itu, suara dari serikat pekerja dan buruh tentang apa saja yang memang perlu untuk terus diperbaiki, baik mengenai UU Cipta Kerja sendiri maupun mengenai aturan pelaksanaannya terus dilakukan.
Maka sebenarnya, apabila masih saja ada anggapan bahwa penerbitan UU Cipta Kerja yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI ini tidak disertai dengan konsultasi publik, maka semua tuduhan tersebut jelas sama sekali tidak benar adanya.
Terbaru, Presiden Partai Buruh, Said Iqbal juga memiliki rencana untuk membawa sebanyak 100 ribu buruh ke Istana Negara, Jakarta. Aksi tersebut dilakukannya dalam rangka peringatan May Day atau hari buruh pada 1 Mei 2023 mendatang.
Beberapa isu dalam peringatan May Day itu adalah tuntutan untuk mencabut Omnibus Law Cipta Kerja, pencabutan parliamentary threshold 4% (persen), kemudian mengesahkan rancangan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, menolak RUU Kesehatan, reforma agraria dan kedaulatan pangan.
Salah satu contoh konkret mengenai adanya penampungan aspirasi dari para buruh dalam penetapan UU Cipta Kerja adalah mengenai adanya perubahan formula dari upah minimum. Bukan hanya itu, namun, di dalam kebijakan tersebut, pemerintah sudah mengatur jenis pekerjaan yang bisa menggunakan tenaga alih daya dan mana yang tidak, sehingga tidak bisa diputuskan secara sepihak oleh perusahaan. Tentunya seluruh perubahan tersebut merupakan wujud nyata dari hasil penjaringan aspirasi.
Deputi III KSP Bidang Perekonomian itu kemudian menegaskan pula bahwa sama sekali tidak mungkin Pemerintah mengorbankan kesejahteraan sosial dari para pekerja dan buruh di Indonesia. Justru, kini Pemerintah terus mememikitkan 3 (tiga) hal mengenai aspek ketenagakerjaan.
Pertama adalah angkatan kerja yang belum bekerja, maka dari itu Pemerintah terus berupaya agar ada penyediaan lapangan kerja yang luas karena juga mampu memperbaiki iklim investasi di Indonesia. Adanya penciptaan lapangan kerja tersebut juga merupakan salah satu tujuan utama UU Cipta Kerja.
Kemudian yang kedua adalah Pemerintah terus memikirkan bagaimana nasib masyarakat yang sedang bekerja, kemudian perhatian lain juga ditujukan kepada masyarakat yang tidak lagi bekerja. Untuk itu, adanya jaminan kehilangan pekerjaan, yang mana sudah diatur dengan jelas dan tegas dalam UU Cipta Kerja pula.
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama KSP, Fadjar Dwi Wisnuwardhani dengan sangat tegas membantah adanya anggapan bahwa seolah penerbitan UU Cipta Kerja hanyalah mewakili kepentingan satu pihak saja, yakni pengusaha. Justru sebaliknya, dengan adanya pengesahan produk hukum tersebut berdiri di atas kepentingan semua pihak termasuk para pekerja dan pelaku UMKM.
Adanya UU Cipta Kerja, menurutnya mampu mensinkronkan seluruh aturan regulasi yang sudah ada, termasuk juga menyederhanakan proses birokrasi agar dapat mendorong penciptaan perluasan kesempatan kerja dan juga perekonomian secara keseluruhan. Dirinya menilai bahwa tujuan itu bukan hanya mewakili satu elemen saja, melainkan berdiri di atas kepentingan semua elemen masyarakat Indonesia.
UU Cipta Kerja sendiri, menurut Fadjar telah mengakomodir penyerapan aspirasi masyarakat dan memberikan penjelasan atau informasi ke publik untuk menghindari mispersepsi di masyarakat. Lagipula, Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) selalu melihat pada kepentingan negara, kesejahteraan masyarakat dan kelangsungan usaha. Upaya dari Presiden dalam mengedepankan investasi ini juga bertujuan untuk menjaga keberlangsungan negara.
Ada pula mispersepsi di masyarakat mengenai aturan libur kerja satu hari dalam sepekan yang berkembang. Padahal pengaturan mengenai durasi hari kerja sendiri sama sekali tidak mengalami perubahan dan ditentukan bahwa waktu kerja adalah 7 jam dalam sehari berlaku untuk 6 hari kerja dalam seminggu atau 8 jam sehari untuk 5 hari kerja dalam seminggu.
Maka dari itu, sebenarnya produk hukum yang sudah disahkan oleh Pemerintah RI dan DPR, yakni UU Cipta Kerja tersebut sejatinya sudah sangat mengatur dan menampung seluruh aspirasi dari setiap elemen masyarakat di Indonesia termasuk para pekerja dan buruh sendiri demi terus meningkatkan kesejahteraan mereka.
)* Penulis adalah kontributor Persada Institute
Post Comment