UU Ciptaker Pro Pekerja dan Melarang PHK Sepihak

UU Ciptaker Pro Pekerja dan Melarang PHK Sepihak

Oleh : Tyas Permata Wiyana

Banyak kesalahpahaman mengenai UU Cipta Kerja yang diterima oleh masyarakat hingga saat ini, salah satunya mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Padahal, yang terjadi sebenarnya, aturan PHK sepihak justru dilarang dalam UU Cipta Kerja, sebaliknya UU Cipta Kerja atau Omnibus Law ini berpihak kepada para pekerja, sehingga perusahaan tidak bisa semena-mena memutus hubungan kerja kepada karyawannya dengan didukung oleh hukum yang berlaku di negara kita, Indonesia.

Persoalan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang sepihak sering kali dilakukan oleh beberapa oknum perusahaan masih menjadi ketakutan bagi karyawan. Namun, sebenarnya mengenai persoalan tersebut telah diatur dalam Undang-undang Cipta Kerja yang diterbitkan oleh pemerintah beberapa waktu lalu.

Ada beberapa hal yang wajib diketahui oleh masyarakat khususnya para pekerja dan karyawan mengenai mekanisme-mekanisme agar tidak terjadi PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan, sehingga para pekerja tetap mendapatkan haknya.

Menurut Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang menyatakan bahwa perusahaan tidak bisa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak terhadap para pekerja atau karyawannya.

Indah Anggoro Putri selaku Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (PHIJSK) menambahkan bahwa bila ada perselisihan PHK, maka harus diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial seperti yang termaktub dalam UU Nomor 2 Tahun 2004.

Sementara itu, UU Ciptaker sudah mengatur 10 kategori pekerja yang tidak bisa terkena PHK secara sepihak. Dalam aturan tersebut yakni, ketika pekerja berhalangan masuk lantaran sakit menurut surat dokter dan tidak melampaui 12 bulan secara terus menerus, kemudian ketika pegawai atau pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara yang sesuai dengan ketentuan. Selanjutnya, saat pegawai menjalankan ibadah yang diperintahkan oleh agamanya, pekerja yang menikah, pekerja wanita yang hamil, melahirkan, mengalami gugur kandungan, atau tengah menyusui bayi, pekerja yang mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja yang lain dalam satu perusahaan, karyawan mendirikan, menjadi anggota, atau pengurus serikat pekerja (serikat buruh), pekerja buruh yang melakukan serikat buruh di luar jam kerja atau saat jam kerja atas kesepakatan pengusaha atau yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja sama, pegawai mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan, karyawan yang berbeda paham, agama, aliran politik, suku, golongan, status perkawinan, warna kulit, jenis kelamin, kondisi fisik, dan lain sebagainya, dan yang terakhir yakni pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter dan jangka waktu penyembuhan belum dapat dipastikan. Dari ke 10 kategori tersebut perusahaan dilarang melakukan PHK secara sepihak kepada pegawainya.
Meskipun banyak kesalahpahaman yang beredar luas di masyarakat, hal ini memang harus diluruskan melalui fakta-fakta UU Ciptaker yang sebenarnya justru pro kepada para pekerja mengenai hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Bahkan, beberapa unggahan di media sosial yang sempat menyebut UU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang mengatakan bahwa pekerja/buruh tidak boleh melakukan protes lantaran terancam PHK, padahal yang sebenarnya terjadi alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam 154A tidak ada yang memuat bahwa protes yang dilakukan buruh menjadi alasan PHK, kecuali memang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Berita-berita hoaks atau palsu yang beredar saat ini patut diwaspadai karena memang dampaknya berbahaya jika tidak mengetahui betul-betul bagaimana fakta yang ada.
Pegawai atau karyawan juga diharapkan mengetahui betul-betul isi dari UU Ciptaker agar mereka tidak mendapatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tiba-tiba atau secara sepihak. Justru di dalam UU Cipta Kerja memuat jaminan sosial dan kesejahteraan yang termaktub di Pasal 82, yakni meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan jaminan kehilangan pekerjaan. Tentu saja, poin-poin tersebut juga harus dipahami oleh perusahaan yang tidak asal memutus hubungan kerja dengan pegawai atau pekerjanya. Disamping itu, UU Cipta Kerja pasal 153 (2) berbunyi ‘Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana pada ayat (1) batal demi hukum dan Pengusaha wajib mempekerjakan kembali Pekerja/Buruh yang bersangkutan’ isinya setelah mengalami perubahan. Dengan demikian, UU Ciptaker justru berpihak kepada para pekerja.
Aturan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang termaktub dalam UU Cipta Kerja terbagi menjadi beberapa poin-poin penting yang harus dipatuhi oleh perusahaan, termasuk 10 kategori di atas. Jadi, berita mengenai UU Ciptaker yang dikatakan tidak pro terhadap pekerja, sebaiknya dilakukan penyelaman informasi yang mendalam. Karena pada kenyataannya, pada setiap butir pasal UU Cipta Kerja justru memihak kepada para pekerja.

)* Penulis adalah kontributor Persada Institute

Post Comment