UU TNI Tegaskan Komitmen pada Demokrasi dan Supremasi Sipil

UU TNI Tegaskan Komitmen pada Demokrasi dan Supremasi Sipil

Oleh: Salsa Hamida

Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang telah resmi disahkan pada 20 Maret 2025 menegaskan kembali komitmen pemerintah dalam menjaga prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Pembaruan ini merupakan upaya untuk memastikan bahwa peran TNI tetap fokus pada pertahanan negara tanpa melibatkan diri dalam ranah politik atau pemerintahan sipil. Langkah ini sekaligus menjawab berbagai kekhawatiran publik terhadap potensi kembalinya peran ganda militer seperti di masa lalu.

 

 

 

Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyatakan bahwa perubahan ini menitikberatkan pada tiga substansi utama yang bertujuan menyesuaikan tugas pokok TNI dengan tantangan keamanan modern. Salah satu poin utama adalah penyesuaian operasi militer selain perang (OMSP) yang sebelumnya mencakup 14 tugas pokok, kini bertambah menjadi 16. Perluasan ini memungkinkan TNI untuk lebih responsif terhadap ancaman pertahanan siber serta perlindungan warga negara dan kepentingan nasional di luar negeri. Dengan demikian, TNI tidak hanya berperan dalam menjaga stabilitas dalam negeri, tetapi juga di tataran global ketika kepentingan Indonesia berada dalam ancaman.

 

 

 

Selain perluasan OMSP, perhatian besar juga diberikan pada aturan penempatan prajurit TNI aktif di kementerian dan lembaga negara. Perubahan dalam Pasal 47 UU TNI menegaskan bahwa prajurit aktif hanya diperbolehkan menduduki jabatan di 14 kementerian dan lembaga tertentu. Langkah ini bertujuan untuk memberikan kejelasan hukum dan mencegah tumpang tindih peran antara militer dan sipil. Di luar 14 lembaga tersebut, prajurit TNI diwajibkan mengundurkan diri atau pensiun sebelum memasuki jabatan sipil. Ini menandakan bahwa regulasi baru benar-benar menempatkan supremasi sipil di atas segalanya, sesuai dengan semangat reformasi yang telah diperjuangkan sejak akhir 1990-an.

 

 

 

Puan menegaskan bahwa perluasan jumlah lembaga yang dapat diisi prajurit TNI aktif tidak bertujuan untuk menghidupkan kembali dwifungsi militer. Sebaliknya, hal ini merupakan respons terhadap kebutuhan pertahanan yang semakin kompleks, termasuk ancaman hibrida dan siber. Pemerintah bersama DPR menyadari bahwa dalam era modern, ancaman terhadap negara tidak hanya berbentuk agresi militer konvensional, tetapi juga serangan non-fisik yang membutuhkan keterampilan teknis tinggi. Dengan penyesuaian ini, peran TNI dalam kementerian dan lembaga terkait diharapkan dapat memperkuat respons keamanan nasional tanpa melanggar batas-batas demokrasi.

 

 

 

Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, yang turut hadir dalam rapat paripurna menyampaikan bahwa perubahan ini bukan sekadar revisi administratif, melainkan bentuk reformasi struktural dalam pertahanan negara. Pemerintah berusaha menyeimbangkan kebutuhan pertahanan dengan prinsip supremasi sipil yang menjadi dasar demokrasi. Dengan memperjelas regulasi terkait masa dinas, penempatan jabatan, dan fokus operasi militer, UU TNI yang baru dianggap lebih adaptif dalam menghadapi tantangan modern tanpa mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi.

 

 

 

Salah satu perubahan signifikan lainnya adalah terkait masa dinas keprajuritan. Jika sebelumnya perwira harus pensiun pada usia 58 tahun dan bintara serta tamtama pada usia 53 tahun, maka dalam regulasi baru terdapat penyesuaian berdasarkan jenjang kepangkatan. Penambahan masa dinas ini bertujuan memberikan keadilan bagi prajurit yang telah mendedikasikan hidup mereka untuk negara. Selain itu, hal ini diharapkan meningkatkan profesionalisme prajurit dengan memaksimalkan pengalaman dan keterampilan mereka selama bertugas.

 

 

 

 

 

 

Revisi UU TNI juga mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto. Ia menilai bahwa perubahan ini bukan hanya soal regulasi teknis, tetapi juga simbol keberlanjutan reformasi militer di Indonesia. Prinsip supremasi sipil tetap menjadi landasan utama dalam revisi ini, sehingga tidak ada ruang bagi kebangkitan kembali dwifungsi militer seperti yang dikhawatirkan sejumlah kelompok masyarakat sipil. Utut menyebut bahwa regulasi baru ini merupakan hasil dialog panjang yang melibatkan banyak pihak, termasuk LSM dan organisasi masyarakat, untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas.

 

 

 

Di sisi lain, sejumlah pihak yang sebelumnya mengkhawatirkan kembalinya peran ganda militer mulai meredakan kekhawatiran mereka setelah melihat kejelasan isi revisi UU TNI. Pemerintah dan DPR menegaskan bahwa setiap aturan yang tertuang dalam undang-undang ini telah mempertimbangkan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, pihak legislatif dan eksekutif mengadakan dialog terbuka untuk memastikan bahwa tidak ada pelanggaran prinsip demokrasi dalam penerapan aturan baru.

 

 

 

Peran TNI dalam konteks negara demokrasi memang tidak bisa dilepaskan dari tantangan zaman yang terus berubah. Dengan ancaman yang kian kompleks, peran militer harus terus beradaptasi tanpa mengorbankan supremasi sipil. UU TNI yang baru membuktikan bahwa pemerintah tetap berkomitmen menjaga keseimbangan tersebut. Regulasi ini menegaskan bahwa meski peran TNI diperluas dalam menghadapi tantangan modern, garis demarkasi antara militer dan sipil tetap dijaga dengan ketat.

 

 

 

Melalui revisi UU TNI ini, pemerintah menunjukkan bahwa supremasi sipil bukan sekadar retorika, melainkan prinsip fundamental yang dipegang teguh. Indonesia, sebagai negara demokrasi yang terus berkembang, telah mengambil langkah penting untuk memastikan bahwa militer berfungsi dalam kerangka hukum yang jelas dan transparan. Dengan demikian, perubahan ini tidak hanya memperkuat pertahanan negara, tetapi juga menjadi bukti bahwa demokrasi Indonesia semakin matang.

 

 

 

)* Pemerhati Kebijakan Publik

Post Comment