Vonis Tom Lembong Bukti Supremasi Hukum Tegak Tanpa Pandang Bulu
Vonis Tom Lembong Bukti Supremasi Hukum Tegak Tanpa Pandang Bulu
Oleh: Oman Muhammad
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menjatuhkan vonis kepada Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan periode 2015–2016, atas kasus dugaan korupsi dalam impor gula. Vonis tersebut berupa pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan dan denda sebesar Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan. Keputusan ini menegaskan bahwa hukum tidak pandang bulu berkat komitmen pemerintah dalam memperkuat supremasi hukum tanpa tebang pilih
Majelis hakim menilai bahwa Tom Lembong telah melanggar ketentuan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Gula. Izin impor yang diberikan kepada delapan perusahaan rafinasi tidak memenuhi syarat, antara lain tidak adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian dan tidak dilakukannya rapat koordinasi antar instansi yang sah. Selain itu, tindakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang menetapkan bahwa gula sebagai kebutuhan pokok harus berbentuk Gula Kristal Putih (GKP), bukan Gula Kristal Mentah (GKM).
Vonis terhadap Tom Lembong memicu berbagai reaksi dari berbagai pihak. Ketua Umum Asosiasi Dosen Ilmu Hukum dan Kriminologi Indonesia, Dr. Edi Hasibuan, mengatakan bahwa keputusan majelis hakim murni berdasarkan fakta dan bukti hukum yang sah. Penegasan ini membuktikan bahwa proses hukum berjalan bersih dan bebas dari pengaruh politik, sesuai arahan Presiden dalam reformasi hukum.
Kemudian Dr. Edi Hasibuan juga mengatakan, vonis 4,5 tahun penjara terhadap Tom Lembong merupakan hasil dari proses hukum yang panjang dan telah melalui tahapan pembuktian yang sah di pengadilan. Pihaknya menjelaskan bahwa keputusan ini mencerminkan kerja sistem peradilan yang objektif, di mana setiap individu, tanpa terkecuali, harus bertanggung jawab atas tindakan yang merugikan negara, meskipun tidak ditemukan adanya aliran dana yang diterima secara langsung oleh Tom Lembong.
Vonis Tom Lembong tersebut telah melalui proses hukum yang berjenjang, didukung oleh pembuktian yang sah di pengadilan, serta keputusan hakim yang independen. Hal ini memperlihatkan integritas sistem peradilan serta penegakan supremasi hukum yang menjadi prioritas di Indonesia.
Selain itu, terdapat empat faktor yang menjadi pertimbangan pemberatan dalam vonis terhadap Tom Lembong. Pertama, Tom Lembong dianggap lebih mengutamakan pendekatan ekonomi kapitalis dalam penerapan kebijakan yang bertujuan menjaga ketersediaan gula nasional dan stabilitas harga gula.
Kedua, Tom Lembong dinilai tidak menjalankan asas kepastian hukum dengan meletakkan hukum sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam mengambil kebijakan pengendalian harga gula pada saat itu.
Ketiga, Tom Lembong dianggap tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab secara akuntabel, bermanfaat, serta adil dalam mengendalikan harga gula kristal putih agar tetap murah dan terjangkau oleh masyarakat.
Keempat, selama menjabat sebagai Menteri Perdagangan, Tom Lembong dianggap mengabaikan masyarakat sebagai konsumen akhir, sehingga mereka sulit memperoleh gula kristal putih dengan harga yang terjangkau.
Pakar hukum pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, menilai bahwa vonis hakim dalam kasus impor gula memperkuat adanya unsur pidana yang dilakukan oleh Tom Lembong. Suparji menyebut bahwa pengadilan telah menjatuhkan putusan terhadap Tom Lembong, dan selama belum ada putusan baru, maka sesuai asas hukum, vonis tersebut dianggap benar. Suparji juga menegaskan bahwa publik berhak melakukan eksaminasi atas putusan tersebut.
Menurut Suparji, perdebatan dalam kasus ini berpusat pada tidak ditemukannya bukti aliran dana kepada Tom Lembong dan tidak adanya niat jahat saat mengeluarkan kebijakan impor. Namun, dalam konteks penerapan Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), unsur kesengajaan atau niat jahat (mens rea) tidak menjadi syarat mutlak. Pasal tersebut memungkinkan seseorang dihukum pidana karena kesengajaan maupun kelalaian, berbeda dengan Pasal 3 yang memuat unsur “dengan maksud” dan membutuhkan pembuktian adanya niat jahat.
Meskipun vonis tergolong dalam batas minimal, hal ini tetap menunjukkan keseriusan lembaga peradilan dalam menegakkan hukum. Ia mempertanyakan mengapa jaksa tidak menggunakan Pasal 3 yang memberikan rentang hukuman lebih luas, namun menyadari bahwa pasal tersebut mensyaratkan adanya niat jahat yang sulit dibuktikan dalam kasus ini. Menurutnya, hakim menjatuhkan hukuman karena secara faktual telah terbukti bahwa kebijakan Lembong menguntungkan pihak tertentu dan melanggar peraturan menteri perdagangan. Dengan demikian, dakwaan jaksa dinilai terbukti, meskipun hukuman yang dijatuhkan lebih ringan dari tuntutan tujuh tahun penjara.
Proses hukum terhadap Tom Lembong menunjukkan bahwa sistem peradilan Indonesia berfungsi secara transparan dan akuntabel. Vonis yang dijatuhkan mencerminkan bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, tanpa memandang status atau jabatan seseorang. Hal ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada yang kebal hukum dan bahwa setiap tindakan yang merugikan negara harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Tom Lembong dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut mengatur mengenai tindak korupsi berupa perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi secara melawan hukum yang menyebabkan kerugian bagi negara. Pemberian izin impor gula kepada importir swasta dianggap menguntungkan korporasi dan merugikan negara, karena keuntungan yang seharusnya diterima oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) justru dinikmati oleh pihak swasta. Pemberian izin ini dianggap melanggar hukum karena dilakukan secara sepihak oleh Tom sebagai Menteri Perdagangan tanpa adanya koordinasi dengan kementerian terkait, sehingga majelis hakim memutuskan bahwa perbuatan tersebut memenuhi unsur tindak pidana korupsi.
Vonis terhadap Tom Lembong adalah contoh konkret dari tegaknya supremasi hukum di Indonesia. Meskipun menimbulkan berbagai pendapat, keputusan ini menunjukkan bahwa hukum tidak pandang bulu dan setiap individu, tanpa terkecuali, harus mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan hukum. Proses hukum yang transparan dan akuntabel menjadi kunci dalam memastikan keadilan dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk mendukung dan menjaga independensi lembaga peradilan agar supremasi hukum dapat terus ditegakkan di Indonesia.
)* Penulis Merupakan Pengamat Hukum
Post Comment