Waspada Politisasi Isu SARA Mencoreng Wajah Demokrasi Indonesia
Waspada Politisasi Isu SARA Mencoreng Wajah Demokrasi Indonesia
Oleh : Ikshan Akbari Yuana
Dalam beberapa tahun terakhir, isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) semakin sering muncul dalam kontestasi politik, khususnya selama pemilihan umum. Fenomena ini tidak hanya mencederai semangat demokrasi, tetapi juga mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Fakta bahwa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta memetakan isu SARA sebagai kerawanan tertinggi dalam Pilkada Jakarta dan peringatan dari Polda Kalteng untuk mewaspadai isu SARA jelang Pilkada 2024 menegaskan betapa seriusnya masalah ini.
Penggunaan isu SARA dalam kampanye politik memperparah polarisasi sosial. Masyarakat yang berbeda etnis atau agama bisa menjadi curiga dan bermusuhan satu sama lain. Polarisasi ini tidak hanya terjadi selama masa kampanye, tetapi juga bisa berlanjut setelah pemilihan selesai, merusak kohesi sosial dalam jangka panjang. Ketika masyarakat terpecah belah, proses pembangunan dan kemajuan bersama menjadi terhambat.
Bawaslu DKI Jakarta telah memetakan kerawanan Pilkada di wilayah tersebut, dan isu SARA muncul sebagai ancaman terbesar. Koordinator Divisi Pencegahan dan Partisipasi Masyarakat Bawaslu DKI, Burhanuddin, mengungkapkan bahwa pengalaman kampanye sebelumnya menunjukkan materi-materi kampanye yang sarat dengan isu SARA sering kali memecah belah masyarakat.
Bawaslu menemukan bahwa tindakan seperti himbauan untuk menolak calon tertentu oleh tokoh atau kelompok tertentu, kampanye bermuatan SARA di tempat umum dan media sosial, serta penyebaran hoaks adalah beberapa bentuk nyata dari politisasi SARA.
Situasi ini sangat memprihatinkan karena tidak hanya mencederai nilai-nilai demokrasi, tetapi juga mengancam stabilitas sosial. Ketika isu SARA digunakan sebagai alat politik, masyarakat yang seharusnya bersatu untuk memilih pemimpin yang terbaik justru terpecah belah. Kerawanan tinggi yang terkait dengan SARA menunjukkan betapa rentannya masyarakat terhadap manipulasi politik yang memanfaatkan sentimen primordial.
Polda Kalimantan Tengah juga telah mengeluarkan peringatan serupa menjelang Pilkada 2024. Kabid Humas Polda Kalteng, Kombes Pol. Erlan Munaji, menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap isu SARA yang dapat memicu konflik sosial dan mengganggu ketertiban umum. Upaya preventif seperti meningkatkan patroli dan pengawasan, serta mengajak masyarakat untuk tidak mudah percaya pada informasi yang tidak jelas sumbernya, adalah langkah-langkah penting yang diambil untuk menjaga keamanan dan ketertiban.
Pentingnya menjaga keamanan dan ketertiban dalam konteks Pilkada tidak bisa diabaikan. Ketika isu SARA dibiarkan berkembang tanpa kontrol, potensi konflik sosial yang lebih luas menjadi nyata. Oleh karena itu, peran aktif aparat keamanan dan kerjasama dari masyarakat sangat krusial untuk memastikan bahwa proses demokrasi berjalan dengan damai dan tanpa gangguan.
Politisasi SARA memiliki dampak negatif yang luas. Pertama, hal ini merusak integritas proses demokrasi. Pemilihan umum seharusnya menjadi ajang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin berdasarkan visi, misi, dan program kerja yang ditawarkan, bukan berdasarkan sentimen etnis atau agama. Ketika isu SARA dijadikan alat kampanye, pemilih tidak lagi berfokus pada kualitas calon, tetapi pada identitas primordial mereka.
Kedua, politisasi SARA memperparah polarisasi sosial. Masyarakat yang berbeda etnis atau agama bisa menjadi curiga satu sama lain, dan hubungan sosial yang sebelumnya harmonis bisa berubah menjadi permusuhan. Polarisasi ini tidak hanya terjadi selama masa kampanye, tetapi juga bisa berlanjut jauh setelah pemilihan selesai, merusak kohesi sosial dalam jangka panjang.
Ketiga, politisasi SARA mengancam stabilitas nasional. Indonesia sebagai negara dengan keragaman yang luar biasa rentan terhadap konflik yang berakar dari perbedaan suku, agama, ras, dan golongan. Ketika politisi menggunakan isu SARA untuk meraih keuntungan politik, mereka pada dasarnya bermain api dengan stabilitas nasional. Sejarah telah menunjukkan bahwa konflik sosial yang berakar dari isu SARA bisa berujung pada kekerasan yang merugikan banyak pihak.
Untuk mengatasi masalah politisasi SARA, diperlukan peran aktif dari semua pihak. Pertama, para politisi dan partai politik harus memiliki komitmen untuk tidak menggunakan isu SARA dalam kampanye mereka. Mereka harus fokus pada program kerja yang konkret dan solusi nyata untuk masalah yang dihadapi masyarakat.
Kedua, masyarakat harus lebih kritis dan tidak mudah terprovokasi oleh isu SARA. Pendidikan politik yang baik sangat penting untuk membekali masyarakat dengan pengetahuan dan pemahaman yang cukup sehingga mereka bisa membedakan antara kampanye yang sehat dan kampanye yang memecah belah.
Ketiga, media massa dan media sosial harus berperan sebagai penjaga etika kampanye. Penyebaran hoaks dan materi kampanye bermuatan SARA harus dihindari dan dilawan dengan informasi yang akurat dan mendidik. Media harus menjadi alat untuk mengedukasi masyarakat, bukan untuk menyebarkan kebencian.
Politisasi SARA adalah ancaman serius bagi demokrasi Indonesia. Pengalaman di DKI Jakarta dan peringatan dari Polda Kalteng menunjukkan bahwa isu ini bisa menjadi kerawanan utama dalam kontestasi politik. Dampak negatif politisasi SARA tidak hanya merusak integritas proses demokrasi, tetapi juga memperparah polarisasi sosial dan mengancam stabilitas nasional.
Oleh karena itu, peran aktif semua pihak, mulai dari politisi, masyarakat, hingga media, sangat diperlukan untuk memastikan bahwa demokrasi Indonesia tetap berjalan dengan sehat dan damai, tanpa tercoreng oleh isu-isu SARA.
*Penulis adalah Pengamat Politik
Post Comment