Waspada Provokasi, Penyebaran Radikalisme Tidak Berhubungan dengan Agama Apapun
Waspada Provokasi, Penyebaran Radikalisme Tidak Berhubungan dengan Agama Apapun
Oleh : Gavin Asadit
Radikalisme telah menjadi salah satu ancaman serius dalam masyarakat modern, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Provokasi dan penyebaran ideologi radikal tidak hanya menimbulkan ketidakstabilan sosial, tetapi juga dapat mengancam keamanan nasional.
Namun, penting perlu diingat bahwa penyebaran radikalisme tidak berhubungan dengan agama apapun. Agama yang sejatinya mengajarkan kedamaian, toleransi, dan kasih sayang, tetapi seringkali disalahgunakan oleh kelompok-kelompok radikal untuk memperoleh dukungan dan merekrut anggota baru.
Hal ini menjadi kewaspadaan untuk tidak mempercayai provokasi yang menyerang atau mengatasnamakan salah satu agama sebagai dalang dari penyebaran paham radikalisme.
Radikalisme memiliki akar yang kompleks, yang sering kali berhubungan dengan ketidakpuasan sosial, politik, ekonomi, atau bahkan masalah psikologis individu. Dalam banyak kasus, orang-orang yang terlibat dalam aksi radikalisme bukanlah perwakilan dari mayoritas umat agama yang mereka klaim. Tetapi menggunakan agama sebagai katalis untuk memperoleh dukungan dan melegitimasi tindakan yang dilakukan.
Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid mengatakan bahwa radikalisme dan paham menyesatkan lainnya tidak memiliki kaitan dengan ajaran agama manapun. Keterkaitan radikalisme dengan agama muncul karena adanya oknum umat beragama yang salah dalam memahami dan mengamalkan ajaran agamanya.
Seperti aksi teror di Selandia Baru yang penduduknya mayoritas beragama Kristen, justru dilakukan oleh oknum agama Kristen, sementara korbannya adalah penganut agama Islam. Aksi teror di Indonesia juga umumnya dilakukan oleh oknum agama Islam karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam. Di sisi lain, pentingnya memperkokoh konsesus nasional dengan mempraktikkan nasionalisme moderat melalui pengamalan nilai-nilai Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undang-Undang Dasar 1945.
Penting bagi kita untuk memahami bahwa radikalisme bukanlah ajaran agama yang sah. Agama-agama yang ada di Indonesia, seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lain-lain, mengajarkan nilai-nilai universal yang menghormati kebebasan beragama dan mengutamakan perdamaian. Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang penyebaran radikalisme, penting untuk tidak menyalahkan agama tertentu atau menggeneralisasi semua penganut agama tersebut.
Untuk melawan penyebaran radikalisme, perlu adanya kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang tegas untuk mengatasi provokasi dan penyebaran radikalisme, baik melalui penegakan hukum maupun upaya pencegahan. Masyarakat juga memiliki peran penting dalam melawan radikalisme dengan tidak mudah terprovokasi dan melaporkan aktivitas yang mencurigakan kepada pihak berwenang.
Seorang pakar sosiologi dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Ahmad Ibrahim mengatakan radikalisme merupakan hasil dari ketidakpuasan sosial yang mendalam dan tidak selalu berkaitan dengan agama tertentu, oleh karenanya perlu memahami akar masalah tentang radikalisme dalam mengatasinya tanpa menyalahkan agama manapun.
Lembaga pendidikan juga memiliki peran yang sangat penting dalam mencegah penyebaran radikalisme. Pendidikan yang berkualitas dan inklusif dapat membantu masyarakat memahami nilai-nilai toleransi, pluralisme, dan menghormati perbedaan. Dalam konteks ini, peran guru sangatlah krusial. Guru harus menjadi agen perubahan yang mengajarkan nilai-nilai keberagaman dan mengajak siswa untuk berpikir kritis serta menganalisis informasi yang mereka terima.
Selain itu, media juga memiliki tanggung jawab besar dalam melawan penyebaran radikalisme. Media harus berperan sebagai penjaga kebenaran dan tidak memberitakan berita palsu atau hoaks yang dapat memicu ketegangan sosial. Media juga harus memberikan ruang yang cukup untuk berbagai suara dan pandangan yang beragam, sehingga masyarakat dapat memiliki pemahaman yang lebih luas dan mendalam tentang isu-isu yang berkaitan dengan radikalisme.
Dalam melawan penyebaran radikalisme, penting untuk mengingat bahwa tidak semua orang yang memiliki keyakinan agama yang kuat adalah radikal. Radikalisme adalah sebuah pilihan individu yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk lingkungan sosial, ekonomi, dan politik. Oleh karena itu, penyebaran radikalisme harus dilihat sebagai masalah yang kompleks dan multi-dimensi, bukan hanya terkait dengan agama semata.
Penanggulangan terorisme juga harus dilakukan secara holistik dari hulu ke hilir dengan mengupayakan kesiapsiagaan nasional dengan cara menumbuhkan ideologi antiradikalisme di masyarakat dan kontraradikalisme baik itu kontra-ideologi, kontranarasi, maupun kontrapropaganda, terutama di dunia maya dikarenakan terorisme saat ini hamper 80 persen di dunia maya.
Dalam menghadapi tantangan penyebaran radikalisme, kita perlu membangun kesadaran kolektif dan semangat gotong royong. Kita harus saling mendukung dan bekerja sama untuk menjaga keamanan dan keutuhan bangsa. Dengan waspada terhadap provokasi dan penyebaran radikalisme yang tidak berhubungan dengan agama manapun, kita dapat membangun masyarakat yang inklusif, harmonis, dan damai.
Kerjasama antara pemerintah, masyarakat sipil, dan lembaga keagamaan menjadi kunci dalam menghadapi tantangan radikalisme. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang akar masalah dan tindakan yang tepat, masyarakat dapat bersama-sama memerangi radikalisme dan membangun masyarakat yang lebih damai dan toleran serta tidak memandang permasalahan radikalisme dan terorisme timbul dari salah satu agama tetapi memahami bahwa agama manapun tidak ada hubungannya dengan penyebaran paham radikal dan terorisme.
)* Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Kemasyarakatan
Post Comment