Waspadai Ancaman Hoaks dan Disinformasi Jelang Pemilu 2024

Waspadai Ancaman Hoaks dan Disinformasi Jelang Pemilu 2024

Oleh: S. A. Pamungkas

Menjelang Pemilu 2024, fenomena hoaks, misinformasi, isu identitas, sentimen terhadap SARA, juga ujaran kebencian semakin marak bermunculan di media sosial dan kerap menjadi perhatian serius. Pemilu juga dilaksanakan dalam situasi akses publik terhadap internet semakin meningkat yang diperkirakan sudah mencapai 70% pada tingkat populasi.

Penyebaran gangguan informasi yang menyasar kandidat dan penyelenggara Pemilu sudah mulai terbaca meskipun belum terlihat pola yang jelas. Isu yang digunakan untuk menyerang kandidat dan penyelenggara Pemilu juga terlihat masih acak.

Hasil penelusuran penulis pada situs Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Turnbackhoax.id (2023) menunjukkan para Capres sudah mendapatkan serangan gangguan informasi.
Menkominfo, Budi Arie Setiadi mengatakan terjadi peningkatan hampir 10 kali lipat isu hoaks dibanding tahun lalu.

Secara khusus meski terlihat fluktuatif sejak Juli 2023, terjadi peningkatan signifikan dari bulan ke bulan sebelumnya. Budi mengungkapkan penyebaran hoaks dan disinformasi ditemukan beragam di berbagai media sosial. Terbanyak, penyebaran hoaks terkait Pemilu ditemukan di platform Facebook yang dimiliki oleh Meta Platform. Adapun Budi telah mengajukan takedown 454 konten kepada pihak Meta.

Budi mengatakan hoaks yang tersebar tidak hanya menyasar para bacapres dan bacawapres. Namun hal itu turut menyasar reputasi KPU dan penyelenggaraan Pemilu untuk menimbulkan distrust terhadap Pemilu 2024. Dalam pengalaman Pemilu sebelumnya, penyebaran gangguan informasi dilakukan secara terstruktur baik yang melibatkan buzzer yang partisan dan cyber armies yang disewa secara professional. Tidak jarang, kandidat atau partai menyewa jasa kelompok profesional yang berbiaya mahal untuk menyebarkan gangguan informasi. Bahkan, sejumlah studi menunjukkan kandidat dan partai diduga bertanggung jawab dan menjadi produsen penyebaran gangguan informasi.
Kepala Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Kombes Adi Vivid Agustiadi Bachtiar mengajak masyarakat untuk waspada dengan hoaks yang beredar menjelang Pilpres 2024 mendatang. Media Sosial adalah tempat dimana Sobat Siber bisa menuangkan atau mengungkapkan apa saja yang ingin di ungkapkan. Maka, harus berhati-hati.
Cara agar masyarakat tidak termakan berita palsu dan disinformasi yakni ketahui sumber valid sebuah konten foto atau video. Ketahui apakah orang lain melaporkan berita yang sama. Jangan telan mentah-mentah informasi yang beredar melalui media sosial, dan usahakan selalu berpikir kritis. Lakukan pemeriksaan sumber penulisan dan publikasinya, dengan cara mengetahui informasi yang didapat dengan menelusuri sumber berita, pastikan berasal dari media yang kredibel.
Kenali label informasinya. Apabila konten terindikasi sebagai konten hoaks, tidak perlu lagi untuk menyebarkan informasi bohong tersebut. Selanjutnya, cek fakta atau sumber dari konten yang mengandung foto atau video. tidak menutup kemungkinan foto atau video yang dimuat sengaja dibuat dengan menggunakan teknologi AI untuk menyebarkan informasi palsu.
Di Indonesia, misinformasi justru dapat lebih mudah menyebar pada kelompok muda, berpendidikan, berpendapat menengah, dan tinggal di daerah urban. Penyebaran gangguan informasi dalam Pemilu 2019 juga membuat sebagian orang tidak memercayai hasil penghitungan suara KPU karena menganggap Pemilu curang. Padahal, dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa telah terjadi kecurangan dalam Pemilu.
Penetrasi internet yang tinggi menjadi tantangan dalam upaya mitigasi dan prevensi penyebaran gangguan informasi. Penanggulangan gangguan informasi dalam Pemilu harus menjadi tugas bersama penyelenggara, peserta Pemilu (kandidat dan partai), pemerintah, simpatisan kandidat/partai, perusahaan platform teknologi, masyarakat, dan perusahaan media.
Dalam Pemilu 2024, penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP) harus secara aktif dan cepat menyiapkan rencana mitigasi untuk membendung penyebaran misinformasi. Pencegahan dapat dilakukan dengan beberapa hal, di antaranya pertama, memastikan adanya transparansi dan independensi dalam setiap proses dan tahapan Pemilu. Mulai pendaftaran partai politik, pemutakhiran data pemilih, penetapan Daftar Caleg Tetap (DCT), pemilihan penyelenggara Pemilu pada tingkat daerah, pemungutan suara, hingga penetapan hasil Pemilu. Bila KPU tidak bisa memastikan transparansi dan independensi, hal tersebut akan memengaruhi tingkat kepercayaan publik pada hasil Pemilu dan kepercayaan kepada KPU. Apalagi, berdasarkan sejumlah survei, tingkat kepercayaan publik pada KPU saat ini berada di bawah rata-rata nasional.
Kedua, memastikan sistem informasi dan teknologi KPU tangguh dan dapat menangkal serangan siber. Dalam dua Pemilu sebelumnya, sistem informasi KPU dikabarkan lumpuh dan tidak berdaya menghadapi serangan siber. Padahal, dengan menayangkan informasi secara real time, potensi kecurangan dapat diatasi. Penting juga bagi KPU untuk memberikan akses bagi publik untuk dapat mengetahui hasil penghitungan suara secara real time, tak lama setelah proses penghitungan suara di TPS selesai dilakukan. Misalnya, dengan membuat regulasi yang mewajibkan petugas KPPS mengunggah data penghitungan suara ke pusat data KPU sehingga publik dapat melihat secara real time. Hal itu, selain untuk mengurangi potensi kecurangan, bertujuan menangkal misinformasi terkait dengan penghitungan suara.
Ketiga, penting bagi KPU untuk memiliki early warning system yang dapat mengukur dan memantau potensi-potensi penyebaran misinformasi, serta dapat mencegahnya sebelum misinformasi tersebut beredar. Keempat, dari sisi Bawaslu perlu secara aktif memantau dan mengawasi aktivitas kampanye terutama pada isu-isu yang berpotensi menjadi informasi yang salah atau keliru. Bawaslu perlu menyiapkan rencana strategis untuk memantau penyebaran misinformasi di media sosial dan bekerja sama dengan perusahaan penyedia platform teknologi.
Penyebaran gangguan informasi saat ini dan ke depan akan menjadi ancaman tidak hanya bagi penyelenggaraan Pemilu, tetapi juga memengaruhi kepercayaan publik pada pemerintahan dan lembaga negara, dukungan terhadap demokrasi, dan kohesivitas nasional. Untuk itu, diharapkan masyarakat agar menambah wawasan tentang dunia politik. Karena jika seluruh pihak paham dengan hal yang berkaitan kePemiluan, tentu akan menjadi catatan baik sendiri bagi pelaksanaan Pemilu 2024 dalam menentukan sosok pemimpin yang ideal di masa depan.

)* Penulis adalah tim redaksi Saptalika Jr. Medi

Post Comment