Tegas Berantas Korupsi di Pertamina: Titik Balik Reformasi Migas

Tegas Berantas Korupsi di Pertamina: Titik Balik Reformasi Migas

Oleh: Ali Fahmi

Kasus mega korupsi di PT Pertamina (Persero) telah menciptakan guncangan besar dalam sektor energi nasional. Dengan nilai kerugian yang mencapai Rp193,7 triliun per tahun selama periode 2018-2023, skandal ini bukan hanya sekadar penyimpangan keuangan, tetapi juga ancaman serius terhadap stabilitas ekonomi negara. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, pemberantasan mafia migas menjadi prioritas utama guna memastikan bahwa keuangan negara tidak lagi dirugikan oleh praktik korupsi yang telah berlangsung bertahun-tahun.

 

 

 

Kasus korupsi yang terjadi di Pertamina melibatkan berbagai modus, mulai dari markup impor minyak mentah, impor BBM, hingga pengapalan impor minyak mentah dan BBM yang dilakukan oleh oknum di anak perusahaan Pertamina dan beberapa perusahaan swasta. Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Fahmy Radhi, menilai bahwa kasus ini tidak boleh dialihkan pada perdebatan mengenai blending BBM, karena hal tersebut hanya akan mengaburkan fakta bahwa negara telah dirampok dalam skala besar.

 

 

 

Fahmy juga mengingatkan bahwa perdebatan antara Kejaksaan Agung dan Pertamina terkait blending dapat berdampak negatif terhadap pola konsumsi masyarakat. Jika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap BBM nonsubsidi seperti Pertamax, maka ada kemungkinan akan beralih ke BBM subsidi seperti Pertalite. Akibatnya, beban subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berpotensi meningkat secara signifikan, yang pada akhirnya akan merugikan perekonomian nasional.

 

 

 

Selain itu, pengungkapan kasus ini yang baru terjadi di awal 2025 setelah berlangsung selama lima tahun menunjukkan bahwa ada kekuatan besar yang melindungi praktik tersebut sebelumnya. Fahmy menyoroti bahwa selama periode 2018-2023, skandal ini seolah tidak tersentuh sama sekali karena adanya backing yang sangat kuat. Tanpa operasi besar-besaran terhadap jaringan mafia migas dan pihak-pihak yang melindunginya, maka mega korupsi Pertamina dapat kembali terulang.

Pemberantasan korupsi di sektor migas tidak bisa dilakukan setengah hati. Oleh karena itu, pemerintah memberikan kewenangan penuh kepada Kejaksaan Agung untuk mengusut kasus ini hingga ke akar-akarnya. Direktur Utama PT Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, mengungkapkan bahwa Kejaksaan Agung telah mengumpulkan sejumlah barang bukti terkait dugaan korupsi ini. Barang bukti tersebut mencakup dokumen, laptop, handphone, serta alat komunikasi lainnya, yang diharapkan dapat mengungkap jaringan mafia migas secara lebih mendalam.

Simon juga menegaskan bahwa Pertamina akan bersikap transparan dalam penyelidikan dan mendukung penuh proses hukum yang sedang berlangsung. Menurutnya, jika dalam perjalanan penyelidikan masih diperlukan tambahan barang bukti, pihaknya akan tetap kooperatif dalam menyerahkannya kepada Kejaksaan Agung.

Langkah tegas pemerintah ini menunjukkan bahwa era perlindungan terhadap mafia migas sudah berakhir. Presiden Prabowo Subianto berkomitmen untuk menyelamatkan negara dari kerugian triliunan rupiah akibat praktik korupsi yang telah berlangsung lama di sektor energi. Dengan dukungan penuh dari berbagai pihak, skandal ini diharapkan menjadi titik balik dalam reformasi tata kelola migas di Indonesia.

Pemberantasan korupsi di sektor migas tidak cukup hanya dengan menangkap para pelaku yang terlibat. Reformasi menyeluruh harus dilakukan untuk memastikan bahwa kasus serupa tidak terjadi di masa depan.

Selama ini, lemahnya pengawasan terhadap impor dan distribusi migas memberikan celah bagi praktik korupsi. Oleh karena itu, perlu ada sistem yang lebih transparan, dalam pencatatan transaksi impor dan distribusi BBM.

Pertamina sebagai BUMN strategis harus memiliki mekanisme pengawasan internal yang lebih ketat. Setiap transaksi besar, terutama yang berkaitan dengan impor dan ekspor minyak mentah, harus diaudit secara berkala oleh lembaga independen.

Seperti yang dikatakan Fahmy, mafia migas tidak hanya terdiri dari oknum di dalam Pertamina, tetapi juga melibatkan pihak-pihak di kementerian terkait yang selama ini menjadi backing. Jika hanya eksekutor lapangan yang dihukum sementara dalang utama tetap bebas, maka korupsi akan terus berulang.

Salah satu alasan mengapa mafia migas bisa beroperasi dengan leluasa adalah ketergantungan Indonesia pada impor BBM. Jika kilang dalam negeri dapat dioptimalkan dan kapasitas produksinya ditingkatkan, maka Indonesia bisa mengurangi ketergantungan pada impor dan menutup celah bagi praktik korupsi.

Kasus mega korupsi Pertamina yang terungkap di awal 2025 bisa menjadi titik balik dalam reformasi tata kelola migas di Indonesia. Jika reformasi ini dijalankan dengan sungguh-sungguh, maka industri migas nasional akan menjadi lebih transparan, efisien, dan bebas dari mafia.

Keberhasilan dalam menumpas mafia migas tidak hanya berdampak pada perbaikan tata kelola industri, tetapi juga pada kesejahteraan rakyat. Dengan sistem yang lebih bersih dan transparan, harga bahan bakar diharapkan lebih stabil dan terjangkau bagi masyarakat. Selain itu, optimalisasi sumber daya energi dalam negeri akan memperkuat ketahanan energi nasional, mengurangi ketergantungan pada impor, serta menciptakan stabilitas ekonomi jangka panjang.

Langkah Presiden Prabowo dalam mendukung penuh upaya Kejaksaan Agung menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi di sektor migas bukan sekadar retorika, melainkan agenda nyata yang harus dituntaskan. Reformasi ini bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk masa depan Indonesia yang lebih mandiri dan berdaulat dalam pengelolaan sumber daya energinya.

)* Penulis merupakan akademisi muda pemerhati kebijakan pemerintah

Post Comment